Pandemi Corona COVID-19 dan Prediksi Perubahan Kebiasaan Makan Orang Asia Secara Permanen

Pandemi corona COVID-19, bahkan setelah berlalu, disebutkan dalam sebuah studi masih bisa memengaruhi kebiasaan makan orang Asia.

oleh Asnida Riani diperbarui 08 Apr 2020, 08:01 WIB
Diterbitkan 08 Apr 2020, 08:01 WIB
20161230-Restoran Otak Kelinci di China-Tiongkok
Pengunjung menyantap menu kepala kelinci di sebuah restoran di Chengdu, ibu kota Provinsi Sichuan di barat daya China, 8 September 2016. Otak kelinci di negeri tirai bambu ini menjadi salah satu menu favorit warga lokal maupun asing. (WANG ZHAO/AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Sebuah studi yang baru-baru ini dipublikasikan menyebut kebiasaan makan konsumen Asia jadi sangat berubah, bahkan setelah pandemi corona COVID-19 mereda. Mengutip laman South China Morning Post, Selasa, 7 April 2020, mereka jadi lebih suka takeway atau makan di rumah, ketimbang menyantap di tempat.

"Konsumen di berbagai wilayah di Asia telah memberi sinyal bahwa kebiasaan makan mereka sangat mungkin berubah secara permanen, bahkan setelah dunia tak lagi terdampak penyebaran virus corona baru," begitu kesimpulan dalam survei daring yang dilakukan peneliti konsumen Nielsen.

Melibatkan 6.000 responden dari 11 pasar, termasuk Tiongkok, Hong Kong, Taiwan, Jepang, Korea Selatan, Thailand, Filipina, Vietnam, Malaysia, Singapura, dan Indonesia, polling ini diambil antara 6--17 Maret 2020.

Di Tiongkok, 86 persen responden mengatakan bahwa mereka akan lebih sering makan di rumah ketimbang sebelum ada wabah. Begitu pun dengan 77 persen responden dari Hong Kong. Persentase ini ada di angka 62 persen di Korea Selatan, Malaysia, dan Vietnam.

Survei tersebut dikatakan bisa jadi gambaran perubahan pasar, terutama di segmen makanan dan minuman. "Krisis COVID-19 tak bisa ditampik telah mengubah kebiasaan konsumen," kata Vaughan Ryan selaku Managing Director for Southeast Asia Nielsen Connect.

Ryan menambahkan, secara personal, ia tak percaya orang akan sepenuhnya tak makan di luar rumah. "Tapi, kita juga tak bisa mengatakan dengan yakin bahwa dampak pandemi corona akan bertahan beberapa lama dan menciptakan kebiasaan baru," imbuhnya.

Lalu, Ryan mengatakan, pertanyaan kapan kebiasaan itu akan kembali normal, jawabannya sangat mungkin tak pernah bila berkaca pada studi tersebut.

 

**Ayo berdonasi untuk perlengkapan medis tenaga kesehatan melawan Virus Corona COVID-19 dengan klik tautan ini.

Bukan Sepenuhnya Hilang

Ilustrasi
Ilustrasi restoran. (dok. pexels.com/Emre Kuzu)

Tren dari pasar Asia yang masuk dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa kebiasaan membungkus makanan atau masak sendiri di rumah naik sekitar 20 persen sejak penyebaran corona COVID-19 dimulai pada akhir Januari 2020.

Ryan mengatakan, berdasarkan data itu, kebiasaan konsumen telah berubah dari gaya hidup on-the-go jadi lebih aman konsumsi di rumah. Pertumbuhan kultur masak sendiri di rumah tampak lewat bertambahnya jumlah penguna platform multimedia memperlihatkan demo memasak asal Hong Kong, DayDayCook.

"Sejak penyebaran COVID-19, ada perubahan signifikan pada pola belanja konsumen di berbagai tempat," kata Norma Chu, Founder DayDayCook.

Ia mencatat bahwa konsumen secara drastis memotong belanja beberapa makanan non-esensial seperti makanan ringan dan kacang dari 73,38 persen hingga 21,98 persen. Sementara, bahan-bahan esensial terus jadi kelompok yang dibeli dalam jumlah konstan naik.

Deepika Chandrasekar, analis di Euromonitor International, menjelaskan, di Singapura, sederet restoran mulai merasakan dampak dari kebiasaan masak sendiri di rumah. Apalagi, beberapa restoran memang memanfaatkan makan di tempat sebagai cara berjualan, bukan sistem daring.

Kendati, konsep restoran makan di tempat bukanlah bisnis yang akan sepenuhnya hilang. "Karena di situ ada tawaran interaksi sosial," kata Tuan Phan, Associate Professor of Marketing, Innovation, and Information Management di Hong Kong University.

Saksikan Video Pilihan Berikut:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya