Liputan6.com, Jakarta - Kesehatan jadi isu penting bagi lebih banyak orang, terutama saat kondisi pandemi seperti sekarang. Oleh karena itu, bertepatan pada Hari Kesehatan Nasional Kamis, 12 November 2020, Perhimpunan Filantropi Indonesia (PFI) meluncurkan program Klaster Filantropi Kesehatan guna meningkatkan kualitas program kesehatan yang didukung, dibiayai, serta dikelola lembaga-lembaga filantropi di Indonesia.
Meski dua dekade terakhir secara nasional Indonesia mengalami perbaikan kualitas kesehatan, masih saja terjadi banyak ketimpangan di daerah tertentu. Untuk itu, perlu dilakukan berbagai upaya bersama guna mengurangi ketimpangan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam bidang kesehatan.
Program ini merupakan kerja sama antara Perhimpunan Filantropi Indonesia dengan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gajah Mada (PKMK FK-KMK UGM), serta Yayasan Tahija.
Advertisement
Baca Juga
Hamid Abidin, Direktur PFI mengatakan bahwa gerakan ini dinilai penting mengingat kesehatan adalah salah satu sektor yang didukung penuh oleh masyarakat, lembaga filantropi, dan sektor swasta. Sementara itu, isu kesehatan di Indonesia memang masih memerlukan perhatian, serta dukungan lebih, terutama di masa krisis kesehatan global. Filantropi pun dituntut ikut serta mendukung pemerintah dalam penanganan pandemi dan dampak sosialnya.
"Klaster Filantropi Kesehatan ini diharapkan bisa jadi forum bersama bagi lembaga-lembaga filantropi untuk turut andil dalam Indonesia Sehat melalui kegiatan riset, berbagai informasi, meningkatkan kapasitas, menetapkan advokasi kebijakan, serta mengembangkan kolaborasi dengan sektor lain," paparnya dalam webinar Menggali Potensi Filantropi untuk Andil Indonesia, Kamis siang, 12 November 2020.
Sementara, Trihadi Saptoaji, Ketua Dewan Eksekutif Yayasan Tahija, yakin Klaster Filantropi Kesehatan dapat jadi wadah strategis bagi kerja sama dan menumbuhkan sinergi kontribusi filantropi bagi kepentingan masyarakat Indonesia.
"Di klaster ini kita bisa menggalang sumber daya dan dana masyarakat, terutama para filantropis untuk membuat perubahan lebih baik dan bersama-sama menawarkan solusi yang inovatif di sektor kesehatan, terutama tentu kontribusi nyata ke tujuan, target, dan indikator SDGs atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan," katanya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
SDGs Sebagai Tumpuan
Prof. dr. Laksono Trisnantoro, Ketua PKMK FK-KMK UGM, menambahkan bahwa peran filantropi kesehatan tengah dibutuhkan, terlebih karena kondisi sektor kesehatan saat ini mengalami kesulitan pembiayaan dari pihak pemerintah. Tuntutan dan kebutuhan dukungan akan sumber daya untuk sektor kesehatan makin meningkat diakibatkan pandemi COVID-19 yang melanda Indonesia.
Walau pemerintah telah mengeluarkan dana kebencanaan dari APBN dan APBD untuk membiayai program pencegahan dan penanggulangan COVID-19, intervensi ini baginya masih belum cukup karena bersifat kaku nan lambat sehingga sulit jika menanggapi perbedaan kondisi lapangan.
"Dengan semangat gotong-royong dan solidaritas yang meningkat di masyarakat pada masa pandemi COVID19, filantropi memiliki peran besar dalam melengkapi kehadiran program pemerintah karena sifat aksinya yang fleksibel dan cepat,” ujarnya.
Berbagai tindakan pun telah dilakukan sebelum mempersiapkan peluncuran Klaster Filantropi Kesehatan. Salah satunya melalui riset yang dijalankan dr. Jodi Visnu, Spesialis Kesehatan Masyarakat PKMK FK-KMK UGM, dokter sekaligus mahasiswa S3, yang sedang meneliti filantropi di lembaga Katolik.
Meski sempat tertunda akibat pandemi, pemetaan filantropi telah dilakukan sejak akhir 2019 hingga Mei 2020. Ia menjelaskan bahwa penelitian tersebut menitikberatkan pada empat poin SDGs, yakni tentang Kesehatan, Kelaparan, Kesetaraan Gender, serta Akses Air Bersih dan Sanitasi.
"Diharapkan ini bisa jadi panduan bagi seluruh institusi kesehatan agar dapat memberi pelayanan kesehatan dan donasi filantropi yang berfokus pada SDGs Kesehatan," imbuhnya.
Sementara itu, Menteri Kesehatan RI tahun 2012--2014, dr. Nafsia Mboi, selaku pembicara utama dalam acara ini menambahkan bahwa tak cukup hanya bertumpu pada empat poin SDGs yang disebutkan. Poin tentang kemiskinan, serta pendidikan juga jadi hal penting yang harus diperhatikan dalam mengatasi isu ketimpangan akses kesehatan di Indonesia.
"Saya rasa SDG poin ketiga tentang kesehatan itu harus dikaitkan dengan poin satu sampai enam, termasuk poin kemiskinan dan pendidikan. Sulit sekali menangani kesehatan tanpa mengatasi dua hal ini juga dalam masyarakat, semuanya saling berkaitan," ujarnya.
Advertisement
Ketimpangan Kualitas Kesehatan
Studi global tentang Beban Penyakit tahun 2017 oleh Kementerian Kesehatan bersama Institute of Health Metrics & Evaluation (IHME) Washington University, menunjukkan sejak tahun 1990 hingga 2017, derajat kesehatan masyarakat Indonesia banyak kemajuan.
Sayangnya, dr. Nafsia mengungkap, masih ada ketimpangan antar-daerah dalam jarak cukup jauh. Menurutnya, peran dan kontribusi filantropi akan optimal jika bisa diarahkan untuk membantu mengatasi ketimpangan kondisi dan derajat Kesehatan antar daerah.
Dalam kasus ini, khususnya kesehatan ibu dan anak, penyakit TBC, AIDS, malaria, dan DBD. Filantropi juga perlu mendukung kesenjangan antara harapan hidup (HH) dan harapan hidup sehat (HHH) yang akan menghasilkan lansia yang tak sehat. Menurutnya, filantropi juga akan efektif perannya jika diarahkan untuk mendukung masyarakat dalam promosi hidup sehat dan deteksi dini.
"Kalau Masyarakat bisa diedukasi untuk bertanggung jawab terhadap kesehatannya sendiri sebagai harta tak ternilai, itu bisa jadi pendekatan paling efektif dalam mencapai Indonesia sehat. Upaya itu bisa dilakukan secara konkret dengan mengoptimalkan dan memandirikan Posyandu dan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat,” katanya.
Filantropi juga dapat mendukung peningkatan kapasitas SDM layanan kesehatan primer, serta membantu melakukan kajian dan penelitian. Lebih lanjut, filantropi juga perlu membantu penanganan COVID-19 karena pandemi tidak hanya berpengaruh pada sektor kesehatan, tapi juga seluruh sendi kehidupan masyarakat di Indonesia.
"Kalau bicara tentang gerakan kesehatan masyarakat, kita tidak bisa menggantungkan pendanaan untuk program-program itu dari pemerintah, tapi perlu menggerakkan inisiatif dan dukungan masyarakat melalui filantropi," tutupnya. (Brigitta Valencia Bellion)