Liputan6.com, Jakarta - Anda suka mumet setelah memilah sampah? Atau, merasa percuma memilah sampah di rumah karena dicampur lagi dengan sampah organik begitu diangkut truk sampah? Bila alami dilema itu, sedekahkan saja.
Iya, sedekah sampah bisa jadi solusi untuk Anda. Kepala Sub Direktorat Barang dan Kemasan, Direktorat Pengelolaan Sampah KLHK, Ujang Solihin Sodik menjelaskan sedekah sampah bisa diberikan ke pemulung.
"Ini hal sederhana yang kita bisa lakukan," ujarnya dalam webinar ICEF 4 2021, beberapa waktu lalu.
Advertisement
Baca Juga
Hal yang sama dilontarkan Juleha, Ketua Recycling Business Unit (RBU) Tangerang Selatan. Dalam kesempatan berbeda, ia mengungkapkan bahwa pandemi berdampak pada profesi pemulung. Banyak akses perumahan yang dibatasi lantaran untuk menekan mobilitas orang-orang di luar penghuni.
Padahal, sampah di perumahan menjadi andalan pemulung untuk mendapatkan uang. Untuk itu, Leha mengusulkan agar dibuat titik pengumpulan di luar perumahan untuk sampah-sampah yang sudah bersih dan dipilah.
"WFH kan banyak hasilkan sampah dari rumah. Kalau udah dipisah, sampah ada nilai ekonominya. Dibikin titik pengumpulan di luar perumahan agar pemulung bisa akses," ia menerangkan.
Data National Plastic Action pada April 2020 menyebutkan bahwa Indonesia menghasilkan 6,8 juta ton sampah plastik, tetapi 620 ribu ton berakhir di sungai, danau, dan laut karena belum dikelola dengan baik. Data LIPI juga menyebutkan produksi sampah plastik di masa pandemi meningkat 50 persen karena aktivitas berbelanja online, yang 95 persen kemasannya menggunakan plastik.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Tantangan bagi Industri Daur Ulang
Kesulitan yang dialami pemulung juga berdampak pada operasional industri daur ulang. Annie Wahyuni, Packaging and Waste Collection Manager, Sustainable Development Department of Danone Indonesia. Ia mengungkapkan masa pandemi merupakan periode yang sangat sulit untuk industri daur ulang lantaran mayoritas masyarakat tinggal di rumah saja.
"Kemasan-kemasan yang digunakan berkurang. Bukan hanya di pemulung, tapi semua supply-nya. Kami jadi kekurangan bahan baku, harga pun enggak stabil," kata dia.
Belum lagi kebanyakan sampah yang tersedia tercampur antara satu dan lainnya. Akibatnya, nilai ekonominya berkurang. Lalu, kebanyakan konsumen saat ini juga cenderung membeli produk dengan kemasan yang rendah nilai ekonominya, seperti pouch.
"Kita sering salah kaprah dengan kemasan (pouch) itu. Karena untuk diisi ulang, akhirnya dinilai ramah lingkungan, tapi enggak seperti itu," ujarnya.
Berbeda dengan sampah botol kemasan, terutama dengan material PET. Sejauh ini, material tersebut yang masih ideal untuk diterapkan konsep ekonomi sirkular. Pasalnya, PET bisa diproses menjadi material polimer baru dengan syarat harus bersih dari kontaminan, seperti lem plastik, oli, dan bensin.
"Satu kilogram (plastik botol) itu harganya sekitar Rp5000--Rp6000. Katakanlah pemulung mendapatkan 2,5 kilogram, paling dapat uang Rp12,5 ribu. Kalau botolnya bekas diisi bensin, oli, semuanya jadinya limbah saja," Annie menerangkan.
Advertisement
Pendidikan Usia Dini
Ujang Solihin juga menyebut masyarakat, termasuk pemerintah daerah, masih banyak yang buta soal pemilahan sampah. Padahal, pemilahan jadi kunci utama yang menentukan sukses atau tidaknya ekonomi sirkular.
Untuk itu, edukasi berperan penting. Pendidikan tentang mengelola sampah yang baik semestinya masuk kurikulum agar berdampak besar dan berkelanjutan, sembari terus mengedukasi publik dengan berbagai instrumen, seperti infografis dan materi lainnya.
"Ini fakta yang kita hadapi bahwa masih banyak, jangan bicara sirkular ekonomi, buang sampah aja belum pinter. Ada PR besar kita," kata dia.
Edukasi memerlukan konsistensi dan waktu, tidak cukup satu generasi. "Jepang saja butuh dua generasi, bagaimana dengan kita yang terkenal inkonsistensi?" ujar pria yang akrab disapa Uso itu.
Sampah Kemasan Produk Kecantikan
Advertisement