6 Fakta Menarik Kabupaten Sigi yang Punya Menhir Unik di Situs Purbakala

Kabupaten Sigi menjadi satu-satunya kabupaten yang tidak memiliki garis pantai di Sulawesi Tengah.

oleh Liputan6.com diperbarui 14 Sep 2021, 08:30 WIB
Diterbitkan 14 Sep 2021, 08:30 WIB
6 Fakta Menarik Kabupaten Sigi yang Punya Menhir Unik di Situs Purbakala
Air Terjun Wera yang terletak di Kecamatan Dolo, Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah. (dok. pesonawisata.sultengprov.go.id)

Liputan6.com, Jakarta - Kabupaten Sigi merupakan salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Sulawesi Tengah. Ibu kotanya berada di Bora dan menjadi satu-satunya kabupaten yang tidak bergaris pantai di Provinsi Sulawesi Tengah.

Luas wilayah Kabupaten Sigi mencapai 5.196,02 kilometer persegi dan hampir 70 persennya berupa hutan. Areanya berbatasan dengan Kabupaten Donggala dan Kota Palu di sebelah utara, Kabupaten Luwu Utara di sebelah selatan, Kabupaten Mamuju dan Mamuju Utara di sebelah barat, serta Kabupaten Poso di sebelah timur.

Jumlah penduduk kabupaten ini sebanyak 239.421 jiwa, pada 2019. Kabupaten Sigi terbagi ke dalam 15 kecamatan yang seluruhnya terletak di dekat garis khatulistiwa. Kecamatan terbesar di Sigi adalah Kecamatan Kulawi dengan luas wilayah 1.053,56 kilometer persegi.

Selain itu, masih banyak hal menarik lainnya dari kabupaten ini. Berikut enam fakta menarik Kabupaten Sigi yang dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber.

1. Kerajaan Sigi Dolo

Sebelum masa pendudukan Belanda, Sigi merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Sigi Dolo yang berpusat di Bora. Kerajaan ini merupakan cikal bakal dari Kerajaan Sigi, salah satu kerajaan terbesar dan disegani kerajaan-kerajaan lain.

Menurut tokoh masyarakat, Kerajaan Sigi disegani pada waktu itu karena mereka berhasil mengadakan hubungan dengan Kerajaan Bone di Sulawesi Selatan. Dalam catatan sejarah, raja pertama Kerajaan Sigi merupakan seorang perempuan yang bernama Nili Najo atau Nggunajo.

Pada akhir abad ke-19, berdirilah Kerajaan Sigi-Dolo. Rajanya, Toi Dompu dikenal sebagai raja yang berhati keras dan membuat kerajaannya disegani oleh kerajaan lainnya.

Saat Belanda masuk, Raja Toi Dompu melawan kehadirannya hingga Belanda menganggap ia sebagai penghalang besar. Toi Dompu pun ditangkap Belanda dan diasingkan ke Pulau Jawa hingga akhir hayatnya. Sementara, rakyat Sigi yang marah bereaksi dengan melawan Belanda hingga menimbulkan banyak korban jiwa. 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2. Situs Purbakala Kabupaten Sigi

Musyawarah adat Ngata Toro
Tokoh adat dan pengurus desa Ngata Toro saat musyawarah adat di rumah adat Lobo yang memutuskan isolasi desa. (Foto: Kades Ngata Toro, Mulyanto Lagimpu).

Situs purbakala yang terletak di Kecamatan Kulawi ini berusia 3.931 tahun. Terdapat 68 peninggalan dari zaman megalitikum, salah satunya berupa perkakas batu dari zaman megalitikum. 

Selain itu, terdapat batu menhir yang diduga sebagai tempat pemujaan yang bentuknya horizontal. Bentuk itu terbilang unik lantaran menhir biasanya berbentuk vertikal.

Ditemukan pula batu lumpang yang memiliki ciri terdapat lubang pada atas batu dengan bentuk batu yang berbeda-beda. Batu lumpang difungsikan sebagai alat penumbuk obat pada zaman tersebut.

3. Desa Adat Ngata Toro

Desa adat Ngata Toro terletak di Kecamatan Kulawi. Desa yang dikenal juga dengan nama Desa Toro terkenal dengan hasil pangan padi yaitu Padi Kamba dan Padi Kanari. Menurut tetua adat yang ada di desa ini, masyarakat Desa Toro selalu memegang dua nilai dari nenek moyang, yaitu hintuvua dan katuvua.

Hintuvua merupakan nilai-nilai moral yang ada ketika membangun hubungan dengan manusia. Nilai moral ini berdasarkan nilai cinta kasih, penghargaan, solidaritas, dan musyawarah. Katuvua dapat diartikan sebagai nilai ideal mengenai hubungan antara manusia dengan lingkungan alam.

Upacara adat yang dijalankan di desa ini bernama vunja ada mpae yang diadakan menjelang hari panen raya. Ritual ini diawali dengan perundingan para tetua desa dengan orang yang berwenang dalam merancang kegiatan pertanian atau tina ngata.

Orang yang disebut tina ngata memiliki kemampuan mengenai ilmu-ilmu seputar binatang. Berbekal pengetahuan mereka, tina ngata bertugas untuk memutuskan hal-hal yang berkaitan dengan pertanian, pengolahan ladang, dan sawah.

Selanjutnya, pada perayaan vunja ada mpae yang dilaksanakan di tanah lapang, masyarakat akan membuat bangunan adat lobo. Bangunan ini terbuat dari bambu yang dibentuk untuk meletakkan hasil panen desa. Pada perayaan ini, tetua adat mengenakan pakaian dari kulit kayu yang bernama mbesa.

4. Taman Nasional Lore Lindu

vandalisme yang merusak keindahan pohon Leda di TN Lore Lindu
Sejumlah jurnalis melihat pohon Leda di objek wisata alam Telaga Tambing yang jadi objek vandalisme yang merusak keindahan pohon endemik TN Lore Lindu itu. Minggu (15/11/2020). (Foto: Liputan6.com/ Heri Susanto).

Taman Nasional Lore Lindu terletak di dua kabupaten, yakni Kabupaten Poso dan Kabupaten Sigi, tepatnya di Kecamatan Kulawi. Taman nasional ini merupakan penggabungan dari kawasan Suaka Margasatwa Lore Kalamanta, Hutan Wisata atau Hutan Lindung Danau Lindu, dan Suaka Margasatwa Sungai Sopu. Pada 1977, Taman Nasional Lore Lindu telah ditetapkan sebagai cagar biosfer oleh UNESCO.

Taman Nasional ini menyimpan lima jenis tumbuhan kantong semar yang merupakan tanaman endemik. Selain itu, taman nasional ini juga menjadi habitat bagi berbagai jenis jamur, lumut, dan tanaman paku-pakuan. Taman Nasional Lore Lindu merupakan habitat asli dari Anoa, Rusa, Tarsius, dan Kera Hitam Sulawesi (Macaca tonkeana). Tarsius yang ada meliputi Tarsius pumilus, Tarsius dentatus, dan Tarsius lariensis.

Terdapat pula burung Maleo (Macrocephalon maleo), Rangkong (Rhyticeros cassidix), dan Elang Sulawesi. Kawasan ini juga banyak ditemukan kupu-kupu, sebagian besar telah dibudidayakan.

5. Air Terjun Wera

Air Terjun Wera yang terletak di Kecamatan Dolo, sekitar 20 kilometer dari Kota Palu dan dapat diakses dengan menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat. Air terjun ini mengalir dari balik pegunungan yang dikelilingi oleh hutan hijau. Untuk mencapai lokasi air terjun ini, perlu berjalan kaki menyusuri hutan lindung dan sungai selama 30 menit.

Di dekat air terjun, tempat kolam alami dari aliran Air Terjun Wera. Namun karena derasnya aliran air, disarankan untuk tidak berenang di kolam tersebut. Kawasan ini juga memiliki beberapa kolam alam yang tidak terlalu deras aliran airnya, yang masih memungkinkan untuk digunakan sebagai tempat berendam atau membasahi diri. 

6. Tari Tradisional

Tari Raigo disebut pula Tari Raego merupakan tarian tradisional dari Suku Kulawi, Suku Kaili, dan Suku Bada. Terdapat perbedaan penyebutan pada setiap suku, Suku Kalawi menyebutnya sebagai Raego, Suku Kaili menyebutnya Rego, dan Suku Bada menyebutnya Raigo.

Raego merupakan sebuah tarian dan syair tradisional. Tarian ini dilakukan dalam formasi yang berbentuk lingkaran sambil bernyanyi syair panjang dalam Bahasa Uma Tua. Bahasa ini sekarang sudah tidak dipakai dalam keseharian.

Setiap syair yang dikidungkan berbeda-beda, tergantung acara yang berlangsung. Tarian ini hanya diiringi oleh vokal penari dengan syair-syair ritual dari acara yang sedang dilaksanakan. Namun, ada pula Raego yang diiringi dengan musik, yaitu gendang dan gitar, khususnya pada upacara sesudah panen dan pementasan kesenian. Karena bersifat kolosal, tarian ini dapat dilaksanakan oleh banyak orang. (Gabriella Ajeng Larasati)

4 Risiko Mobilitas Saat Liburan

Infografis Yuk Kenali 4 Risiko Mobilitas Saat Liburan untuk Cegah Covid-19. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Yuk Kenali 4 Risiko Mobilitas Saat Liburan untuk Cegah Covid-19. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya