Liputan6.com, Jakarta - Desa Wisata Umauta terkenal akan seni kerajinan tangannya, termasuk tenun Sikka. Desa wisata ini terletak di Kecamatan Bola, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur.
Dikutip dari Jejaring Desa Wisata (Jadesta) Kemenparekraf, Senin, 18 April 2022, desa wisata ini memiliki Sanggar Seni Budaya Doka Tawa Tana bergerak di bidang seni kerajian tangan mengikat motif pada benang kemudian diproses menjadi kain sarung. Ini lantas untuk keperluan sehari-hari maupun dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dan juga kebutuhan sosial masyarakat.
Melalui sanggar ini juga tumbuh dan berkembangnya seni musik dan tari tradisional untuk kalangan anggota bahkan dapat dipentaskan untuk umum. Permintaan berbagai pihakuntuk pentas hiburan dan event-event budaya, baik tingkat lokal maupun regional dan nasional.
Advertisement
Baca Juga
Sanggar Doka Tawa Tana juga merupakan tempat belajar nilai-nilai kearifan lokal bagi masyarakat dan generasi muda setempat. Banyak kunjungan wisatawan dari waktu ke waktu terus meningkat.
Wisatawan asing dan nusatara telah mengunjung Sanggar Doka Tawa Tana. Mereka selalu memberikan apresiasi dan bangga karena mereka masih menemukan kelestarian budaya.
Salah satu atraksinya adalah musik, tari tradisional, dan tenun ikat pewarna alam. Paket lengkap (Seremoni Adat, Musik dan Tari dan demonstrasi proses tenun ikat pewarna alam) memiliki tarif yang berbeda.
Untuk 1--4 pax dikenakan tarif sebesar Rp2 juta, 5--9 pax Rp3juta. Sedangkan untuk 10--15 pax dibanderol sekitar Rp4 juta, 16--20 pax Rp5juta, dan lebih dari 20 pax dapat dinego.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Sanggar Doka Tawa Tana
Cletus Beru, seorang penggagas Sanggar Doka Tawa Tana berbagi sepenggal kisah mengenai kain tenun ikat khas daerahnya. Pelestarian tenun Sikka melalui sanggarnya telah berlangsung selama lebih dari satu dekade.
Kain tenun sangat berkaitan erat dengan kehidupan masyarakat di Nusa Tenggara Timur, tak terkecuali di Sikka. Cletus menyebut, tenun ikat digunakan, baik oleh orang yang masih hidup maupun mereka yang telah tiada.
Selama satu dekade, Cletus bolak-balik Batam-Maumere untuk melestarikan budaya asal daerahnya. Ia pun menghidupkan kembali tarian tradisional, musik, tenun ikat, kapas lokal ditanam kembali, dan pewarna alam, yang semua dimulai dari alam.
"Saya punya sanggar dengan orang-orang satu desa, desa itu jadi desa wisata Uma Uta, kampung adat Dokar, sanggar Doka Tawa Tana. Pemerintah mengajak ini pariwisata berbasis ekonomi kreatif. Jadi, kita bisa jual jadi paket wisata, orang wisata ke kampung dan bisa melihat proses tenun, makan makanan tradisional," kata Cletus kepada Liputan6.com, beberapa waktu lalu.
Advertisement
Jenis Kain
Cletus menjelaskan, istilah kain di daerahnya sendiri ada sebutan utan welak dan utan hawatan. Pemakaian kain dibedakan berdasarkan tingkat produktivitas para warga di sana.
"Utan welak itu yang memakai mereka yang tidak produktif lagi, tidak melahirkan, orang tua. Kalau yang tengah ini bisa dipakai mereka yang masih produktif," ungkap Cletus.
Ada pula pembeda dari sisi jenis kelamin. "Ada beda kain laki-laki dan perempuan. karena dari tingkah laku, tutur kata, gerak gerik. Maksud orang tua itu lelaki dan perempuan itu memang saling membutuhkan, tapi mereka harus dibedakan untuk menjaga kesopanan dan moralitas," tambahnya.
Ia menyambung, untuk kain yang digunakan perempuan memiliki banyak motif. Sementara, kain untuk para pria kebanyakan polos atau hanya bermotif kotak-kotak.
"Kain-kain untuk orang tua dan tetua adat warnanya tidak terlalu mencolok, yang kaum muda yang mencolok," tuturnya.
Proses Pembuatan
Untuk jadi satu lembar kain tenun ikat, ada proses panjang yang menyertai. Secara garis besar, Cletus menyebutkan proses dimulai dengan menyiapkan benang hingga ditenun.
"Harus menyiapkan benang dulu, mengeluarkan biji kapas, memintal, mengikat motif, setelah itu celup, ditata kembali, baru ditenun," katanya.
Mencelup, kata Cletus, adalah proses paling memakan waktu. Proses ini bergantung pada cuaca dan ketersediaan penyediaan bahan pewarna alam. Jika kemarau panjang, akan sulit mendapatkannya.
"Kalau warna kuning kita pakai kunyit, merah itu mengkudu, biru itu indigo, kalau hijau ada sejenis kacang hutan yang ada di Maumere. Hitam karena indigo kita celup berulang kali jadi pekat," jelas Cletus.
Proses pembuatan kain adat membutuhkan waktu hingga satu tahun, sedangkan untuk kain utan hawatan dengan warna cerah dibuat sekitar empat hingga lima bulan. Kain adat utan welak dijual seharga Rp10 juta dan utan hawatan dijual Rp5 juta.
Advertisement