Liputan6.com, Jakarta - Sebuah kota di Swedia, Malmo, punya cara unik untuk menjaga agar jalanan bebas dari sampah. Mereka menempatkan tempat sampah yang bisa berbicara untuk menarik perhatian warga.
Suara yang dikeluarkan pun bukan suara biasa, melainkan kalimat bernada 'cabul' menggunakan suara desahan perempuan. "Oh, tepat di sana, ya!," "Segera kembali dan lakukan itu lagi!," dan "Mmm, sedikit lebih lagi ke kiri lain lain," adalah beberapa pesan suara yang diprogram untuk menanggapi mereka yang telah membuang sampah.
Advertisement
Baca Juga
Pendekatan 'yang menggoda' itu merupakan taktik baru. Teknologi itu baru diaplikasikan di dua tempat sampah yang berada di Jembatan Davidshallsbron yang menyasar para pejalan kaki.
Meski terdengar baru, tempat sampah bersuara itu bukan sepenuhnya hal baru bagi warga kota terbesar ketiga di Swedia tersebut. Pada 2017, dewan kota membeli 18 tempat sampah yang bisa bersuara, tetapi hanya dua saja yang masih berfungsi, menurut afiliasi CNN, Expressen, dikutip Minggu, 12 Juni 2022.
Otoritas setempat berterima kasih pada warga kota karena mematuhi aturan jarak sosial selama pandemi. Namun, era baru membutuhkan metode baru, kata kepala seksi departemen jalan kota.
"Kalimat-kalimat itu adalah bagian dari kampanye yang bertujuan membuat lebih banyak orang membicarakan hal paling kotor: membuang sampah sembarangan," kata Marie Persson, menurut The Local, mengutip surat kabar Swedia Sydsvenskan.
"Jadi tolong beri makan tempat sampah dengan lebih banyak sampah ... ya, begitu saja."
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Semen dari Sampah Makanan
Malmö telah lama terkenal sebagai pelopor dalam praktik ramah lingkungan. Gaya hidup ramah lingkungan di kota ini dimulai dengan proyek yang diluncurkan pada 2001, yakni Bo01 - City of Tomorrow, yang mengubah galangan kapal yang tercemar dan tidak berfungsi jadi kawasan hidup yang hijau dan berkelanjutan.
Semua kebutuhan energi untuk rumah, toko, dan gedung perkantoran di daerah tersebut dipenuhi dari sumber terbarukan, dengan sisa makanan diubah menjadi biogas untuk menjalankan bus lokal. Sementara di Jepang, peneliti di Universitas Tokyo, Kota Machida dan Yuya Sakai, mengembangkan teknologi yang bisa mengubah sampah makanan menjadi 'semen' yang berpotensi bisa dimakan untuk digunakan dalam sektor konstuksi.
Ini menjadi proses pembuatan semen pertama yang dibuat dari sampah makanan. Para peneliti mengatakan, kekuatan tarik, atau tekuk, produk mereka hampir empat kali lipat dari beton biasa. Machida dan Sakai berharap hasil riset mereka bisa membantu mengurangi pemanasan global, sekaligus mengatasi masalah terakit sampah makanan yang menghasilkan gas metan bila ditumpuk begitu saja di TPA.
Sakai, seorang profesor Ilmu Industri, mengembangkan teknologi sambil meneliti bahan berkelanjutan yang dapat menggantikan beton berbasis semen. Produksi semen menyumbang delapan persen dari emisi karbondioksida dunia, menurut lembaga think tank Chatham House.
Advertisement
Proses Penelitian
Sakai pertama kali mengembangkan cara membuat beton dari kayu partikel yang dihancurkan melalui kompresi panas. Proses tiga langkah: pengeringan, penghancuran, dan kompresi, dilakukan menggunakan mixer dan kompresor sederhana yang menurut para peneliti dapat dibeli di Amazon.
Sakai bersama mahasiswanya, Machida, memutuskan melakukan hal serupa dengan makanan sisa. Lewat uji coba menggunakan sampah makanan sebelumnya, mereka membutuhkan plastik untuk dicampur dalam adonan semen agar bahan-bahan bisa saling menempel.
Setelah berbulan-bulan mengalami kegagalan, para peneliti menyadari bahwa mereka dapat mengikat semen dengan menyesuaikan suhu dan tekanan yang digunakan. "Bagian yang paling menantang adalah bahwa setiap jenis limbah makanan membutuhkan suhu dan tingkat tekanan berbeda," kata Sakai.
Eksperimen lain dalam menggunakan limbah makanan dalam konstruksi terutama berfokus pada penggunaan bahan-bahan seperti ampas kopi atau abu limbah hayati sebagai pengisi beton biasa. Sakai dan Machida mengklaim telah berhasil membuat semen menggunakan daun teh, kulit jeruk dan bawang bombai, ampas kopi, sawi putih, dan sisa bekal makan siang.
Masalah dan Solusi
Para peneliti kemudian menyesuaikan aroma dengan beragam rempah dan menemukan bahwa warna, aroma, dan rasa semen bisa cukup menarik. Untuk bisa memakan bahannya, seseorang perlu memecahnya menjadi beberapa bagian dan merebusnya, kata Sakai. Sementara untuk membuat semen anti-air dan melindunginya dari gangguan tikus dan hama lain, mereka berpikir untuk melapisinya dengan pernis Jepang.
Sampah makanan adalah masalah besar di Jepang, sebagimana terjadi di banyak negara juga. Sekitar 5,7 juta ton sampah makanan dihasilkan di Jepang pada 2019. Pemerintah menargetkan bisa menguranginya sekitar 2,7 juta ton pada 2030.
Seiring hasil riset itu, Machida mulai merintis usaha yang dinamai Fabula Inc bersama dua teman masa kecilnya. Mereka bekerja sama dengan perusahaan lain untuk membuat gelas, alat makan, dan furnitur menggunakan semen makanan.
Sakai mengatakan proses itu juga bisa digunakan untuk membuat rumah yang bisa dimakan saat darurat. "Misalnya, bila makanan tidak bisa disalurkan untuk para pengungsi, mereka bisa makan tempat tidur darurat yang terbuat dari semen makanan," ia menerangkan.
Semen makanan dapat digunakan kembali dan bersifat bisa terurai, sehingga dapat dikubur saat tidak diperlukan lagi. "Harapan utama kami adalah semen ini menggantikan plastik dan produk semen yang berdampak lingkungan lebih buruk," kata Machida. (Natalia Adinda)
Advertisement