Liputan6.com, Jakarta - Konsep bisnis berdampak telah membuat sociopreneur mampu memberdayakan pihak-pihak sesuai sektor usaha. Di antara daftar panjangnya, ada mitra penenun dari Tobatenun, serta mitra petani yang digandeng Sirtanio.
Adalah Lusiana Manullang, seorang penenun tenun Batak berusia 38 tahun yang sudah menenun selama kurang lebih 20 tahun. "(Saya) waktu masih muda jadi anggota di pabrik tenun dan karena keterbatasan pendidikan, jadi memilih untuk menenun," katanya melalui pesan pada Liputan6.com, Sabtu, 12 November 2022.
Advertisement
Baca Juga
Lebih lanjut Lusiana bercerita, pada 2019, ia mengikuti seleksi untuk jadi mitra penenun di Tobatenun, dan akhirnya berhasil jadi salah satu dari dua penenun yang terpilih. Setelahnya, ia dikirim untuk mengikuti studi banding ke Majalaya dan Tasikmalaya, Jawa Barat.
Di studi banding tersebut, ia mempelajari cara membuat motif ATBM Dobby. "Lalu, pada Februari 2020, saya dikontrak selama tiga tahun untuk jadi penenun dan bekerja di Jabu Bonang (salah satu rumah komunitas Tobatenun) di Pematangsiantar," ia menuturkan.
Sementara itu, pertanian bukan dunia asing bagi Imron Mashadi, lantaran sebelum terjun langsung, ia adalah anak seorang petani. "Saya mulai bertani sejak kelas tiga SMP, dan baru bergabung dengan Sirtanio kurang lebih 10 tahun lalu," tuturnya melalui pesan suara, Sabtu, 12 November 2022.
Ia menyambung, "Bagi saya, (bertani adalah) pekerjaan yang sangat dingin di pikiran. Dulu, sekitar tahun 2011-an, saya sudah ditawari bergabung (dengan Sirtanio), tapi saat itu belum pas sama pikiran saya. Waktu itu saya fokus pada hortikultura, khususnya cabai dan semangka."
Bentuk Dukungan Paling Berkesan
Lama-kelamaan, karena sering berkonsultasi masalah pupuk dan obat-obatan tanaman, Imron mengaku diminta mencoba menanam padi organik di satu petak lahannya. "Setelah itu didampingi cara pembibitan dan mengolah tempat persemaian," ujarnya.
"Setelah panen saya bandingkan. Waktu itu Alhamdulillah bagus dan jauh dapatnya secara uang," ia mengatakan. "Padi biasa (dibeli) Rp3 ribu sekian, tapi saat itu (beras) saya sudah dibeli Rp4,8 ribu."
"Sawah yang setengah hektare itu akhirnya saya ikutkan semuanya (di Sirtanio) secara kontrak. Beberapa tahun kemudian, konsultasi terus berlangsung sampai yang cocok untuk saya adalah menanam padi organik, khususnya yang merah," Imron mengakui.
Dalam kerja sama yang berlangsung selama kurang lebih satu dekade, Imron mengatakan bahwa rekan-rekan di Sirtanio ramah dan memberi dukungan yang dibutuhkan. Ia berbagi, "Pendampingannya itu totalitas. Apapun yang jadi keluhan petani, insyaallah ada solusi. Tidak pelit ilmu, terutama dalam hal obat-obatan dan pupuk organik."
"Kemudian, ini menurut saya pribadi, ada dukungan doa, karena di Sirtanio ada kegiatan salawat burdah. Itu memang secara fisik tidak tampak, tapi lain hal kalau dipikir secara mendalam," tuturnya.
"Pernah satu waktu, tanaman samping sawah saya gagal total, tapi saya Alhamdulillah masih panen," ia menyebut. "Mungkin, ini saya saja yang mengaitkan, lantaran ada kegiatan religius yang dilakukan rutin seminggu sekali."
Advertisement
Memilih Jadi Penenun
Di sisi lain, Lusiana bercerita beda kesehariannya sebelum dan setelah bergabung di Tobatenun. "Kalau kerja di pabrik, jam bekerjanya setiap hari, digaji hitungan per helai tenun yang dihasilkan," ia bercerita. "Lalu, setelah berumah tangga memilih menenun sendiri di rumah dan hasil tenun dijual ke toke (semacam pengepul). Itu benang beli dari toko."
"Bekerja sendiri itu mulai tahun 2003 sampai 2019. Setelah bekerja sebagai penenun tetap di Jabu Bonang, kerjanya Senin--Sabtu pukul 8 pagi sampai 5 sore, dan digaji per hari. Enaknya bekerja di Tobatenun itu adalah penghasilan tetap dan tidak perlu memikirkan membeli benang karena benang sudah disediakan," ia berujar.
Dalam masa kerja sama selama tiga tahun belakangan, Lusiana mencatat bahwa bentuk dukungan yang paling berkesan untuknya adalah saat dikirim studi banding karena "menambah pengalaman bertenun." Ia menyebut, "Jadi bisa menguasai mesin: bisa memasang panah dobi, bisa memasang papan dobi, dan paku dobi, serta cara mengatur kamrannya."
"Penghasilan yang didapat dari Tobatenun pun sudah membantu perekonomian," tuturnya. "Pola pikir juga jadi lebih luas dan mengetahui motif-motif tenun."
Dalam keberlanjutan kerja sama, Lusiana bercerita ingin diajarkan cara menenun di gedogan, agar pengalamannya lebih luas lagi. "Kalau bisa, benang selalu tersedia agar proses menenun bisa berlanjut terus," ia mengatakan.
Bantuan Modal Awal untuk Petani
Sedangkan, Imron berharap adanya bantuan modal awal untuk petani yang nantinya bisa disediakan Sirtanio. "Mungkin (bisa untuk) biaya olah lahan atau biaya tanam," tuturnya. "Kemudian, penyediaan tenaga kerja. Terkadang, susah mendapatkan tenaga kerja di waktu tanam. Kalau dari Sirtanio ada tenaga yang siap, tidak harus menunggu antrean dengan petani lain."
Terlepas dari ragam faktor yang masih harus ditingkatkan, Imron berpesan untuk jangan putus asa. "Yang saya rasakan selama jadi petani, kalau saya hitung sudah 20 tahun, dari tukang semprot sampai sekarang Alhamdulillah bisa mengolah lahan, adalah jangan mudah putus asa dan harus bangga jadi seorang petani," katanya.
"Harapan saya, terutama untuk rekan-rekan petani, walau terkadang pupuk yang kita butuhkan itu harganya melonjak, sementara harga padi setelah dipanen malah turun, tetap bersemangat. Syukur-syukur kalau mau bergabung dengan Sirtanio," ia menyebut.
"Selain pendampingan, harganya sudah ditentukan di awal, sehingga kita tinggal fokus menanam tanpa memikirkan nanti waktu panen harganya berapa," ujarnya. "Buat pemerintah, saya berpesan tolong pupuk jangan dipersulit. Syukur-syukur harga murah dan barang melimpah. Juga, semoga panen dibeli dengan harga yang layak."
Asa pun dilambungkan Lusiana. Ia berharap tenun Batak semakin diminati banyak orang karena salah satu wastra Indonesia itu sarat makna. "Lalu, untuk sesama penenun, agar tetap semangat bertenun dan jangan bosan agar budaya Batak tidak hilang dan ada terus sampai generasi selanjutnya, jadi banyak yang tahu dan mencintai budaya Batak," tutupnya.
Advertisement