Rahasia Gelap Fast Furniture, Kini Jadi Masalah Serius bagi Lingkungan

Industri furnitur mulai menjadi masalah baru yang besar dan bisa memperparah krisis iklim.

oleh Henry diperbarui 08 Des 2022, 12:01 WIB
Diterbitkan 08 Des 2022, 12:01 WIB
Ergonomis.
Ilustrasi mebel ergonomis. (Foto: Pixeo)

Liputan6.com, Jakarta - Desainer Rusia Harry Nuriev baru-baru ini meluncurkan sofa ramah lingkungan yang terbuat dari kumpulan kantong sampah. Koleksi sofa itu dipamerkan di ajang Design Miami.

Sofa yang dinamai Trash Bag Sofa itu terinspirasi dari tumpukan sampah di New York. Nuriev sengaja membuat sofa unik itu untuk menarik perhatian tentang bagaimana menggunakan dan memanfaatkan sampah.

Ide serupa pernah diwujudkan Nuriev pada 2019 lalu saat dia membuat sofa dari kumpulan baju bekas. Melalui proyek itu, sang desainer ingin menunjukkan masalah sampah di industri fesyen yang ternyata juga terjadi di bidang furnitur.

Kini, tak hanya ada masalah fast fashion, tapi juga fast furniture. Opsi itu banyak jadi pilihan karena sistemnya menawarkan kenyamanan dan kepuasan melalui layanan cepat sehingga terkesan lebih efisien. Padahal jika diteliti, tidak semua hal yang disuguhkan dengan cepat berdampak baik bagi kita.

"Orang-orang mulai memperlakukan furniture seperti fesyen, yaitu kita bisa mengubah keputusan kita dengan cepat dan membeli banyak barang," ucap Nuriev di acara Design Miami pada Sabtu lalu, melansir CNN, Senin, 5 Desember 2022.

Menurut data dari Environmental Protection Agency (EPA), masyarakat Amerika membuang lebih dari 12 juta ton mebel atau furnitur pada 2018. Jumlah itu naik 2,2 juta ton dari 1960 dan 80 persen berakhir di tempat pembuangan akhir.

Sampah furnitur juga menambah banyak emisi karbon yang disebabkan oleh pabrik serta pengiriman furnitur. Industri furnitur pun mulai menjadi masalah baru yang besar dan bisa memperparah krisis iklim.

Tidak Tahan Lama

Mau Beli Lemari Pakaian? Pertimbangkan 5 Hal Penting Ini!
Ilustrasi dekorasi kamar dan lemari pakaian. (Shutterstock/Gaf_Lila)

Fast furniture adalah jenis perabotan rumah yang diproduksi secara massal dan tentunya harganya lebih terjangkau. Jenis furnitur ini digilai banyak orang karena harganya yang lebih murah dan modelnya yang identik dengan barang mewah.

Belum lagi, perabotan massal bisa ditemukan di mana saja dan dikirim ke rumah-rumah dalam waktu cepat.  Ini tentunya menjadi pilihan utama bagi mereka yang sedang mencari furnitur untuk mengisi rumah. Meski terkesan menguntungkan, furnitur massal sebenarnya menyimpan rahasia gelap.

Ada banyak kerugian yang bisa kita alami dengan membeli jenis furnitur ini.  Salah satunya adalah tidak tahan lama. Fast furniture diproduksi langsung segudang sehingga kecil kemungkinannya bagi setiap barang untuk dicek kualitasnya.

Hal itu membuat perabotan ini lebih cepat rusak. Perabotan yang cepat rusak membuat banyak orang membuangnya begitu saja sehingga membuat sampah semakin menumpuk dan tentunya berdampak buruk bagi lingkungan.

Furniturnya diproduksi dalam jumlah banyak, dan jika ada yang tidak terjual, perabotannya langsung dibuang.  Belum lagi, perabotan yang sudah dibeli rusak karena kualitasnya yang buruk. 

 

Kian Menumpuk

8 Tips Rumah Tetap Sejuk Tanpa AC
Ilustrasi Ruangan Rumah. ( dok. Pexels.com / Andrea Davis / https://www.pexels.com/photo/contemporary-room-interior-with-furniture-and-carpet-on-floor-5417293/ / Vriskey Herdiyani )

Hal-hal ini akan mengubah perabotan menjadi sampah yang kian menumpuk dan tidak terkendali. Melansir dari The Spruce, setiap rumah mengeluarkan setidaknya 24 kilogram limbah rumah tangga setiap tahunnya. Limbah kayu termasuk dalam daftar paling tinggi.

Limbah kayu ini tidak hanya mengotori jalanan, tetapi juga hutan dan lautan lepas. Jadi, bisa dibilang fast fashion maupun fast furniture mulai menjadi berbahaya jika pembelian yang dilakukan adalah secara besar-besaran tanpa pengetahuan yang cukup atas dampak-dampak dari fast furniture.

Salah satunya adalah dalam proses pembuangan produk-produk tersebut. Dengan harganya yang terbilang murah dan modelnya sedang tren, banyak anak muda yang tertarik untuk membeli pakaian dari merek-merek fast fashion tersebut.

Dahulu rata-rata merek merilis dua koleksi, yaitu koleksi musim panas dan musim dingin. Namun, frekuensinya kali ini bisa jauh lebih tinggi. Ada merek global yang merilis hingga belasan koleksi per tahun, bahkan mengeluarkan hingga lebih dari 40 koleksi.

Donasi dan Mengurangi Belanja

Industri Fast Fashion
Ilustrasi industri fast fashion | Unsplash.com/Rico Lecatompessy

Memahami ancaman di balik fast fashion, Program Director for Sustainable Governance Strategic Kemitraan Dewi Rizki dan Runner Up Pertama Putri Indonesia Bengkulu 2022 Dinda Ayudita mengaku selalu memilih model dan warna pakaian yang everlasting. Contohnya, blazer warna hitam yang bisa dipadankan dengan dalaman dan aksesori warna apa saja.

Dewi mengatakan emisi karbon yang sangat besar dari industri fesyen terjadi pada setiap tahap rantai pasokan fesyen dan siklus produk. Namun, 70 persen emisi karbon berasal dari kegiatan hulu, seperti produksi dan pemrosesan bahan mentah.

Dinda turut berbagi tips agar tak perlu terus-menerus belanja produk fesyen, yaitu dengan memilih produk dasar dalam warna monokrom, seperti hitam dan cokelat, sehingga bisa dikenakan di berbagai acara. "Basic item milik saya adalah jeans, kaus ketat atau tank top, dan sepatu putih. Kalau mati gaya, sepatu putih tidak pernah gagal jadi penolong," kata Dinda, pada 11 April 2022.

Salah satu cara untuk menekan limbah fesyen tentunya adalah dengan mengurangi belanja produk fesyen. Selain itu, mendonasikan pakaian lama yang masih layak pakai kepada mereka yang membutuhkan jadi cara yang termasuk sangat efektif. Jika sangat perlu belanja baju, Dewi menyarankan agar memastikan semua diproses secara bertanggung jawab dan berkelanjutan, misalnya memakai bahan daur ulang dan dibuat dari bahan yang tahan lama.

Infografis Menerapkan Gaya Hidup Ramah Lingkungan
Infografis Menerapkan Gaya Hidup Ramah Lingkungan. (Liputan6.com/Triiyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya