Liputan6.com, Jakarta - Beberapa tahun belakangan ini berkembang berbagai tren menarik di industri pariwisata. Yang paling menonjol adalah usaha dunia wisata mengurangi dampak buruk terhadap alam.
Saat ini, Dewan Perjalanan dan Pariwisata Dunia atau World Travel and Tourism Council (WTTC) meminta para wisatawan untuk meninggalkan jejak positif dalam tiap perjalanannya. Melansir euronews, 31 Desember 2022, mereka pun meluncurkan kampanye wisata alam positif (nature positive travel) yang mengajak para wisatawan untuk lebih mengutamakan kepentingan alam.
Ide tersebut dipresentasikan tepat sebelum konferensi biodiversitas COP15 yang berlangsung di Montreal Kanada pada Desember 2022. Menurut Julia Simpson, presiden dan CEO WTTC, 88 persen dari wisatawan di seluruh dunia melakukan kegiatan yang berhubungan dengan alam.
Advertisement
Baca Juga
Contohnya, berbaring di pinggir pantai, snorkeling di terumbu karang, mendaki gunung sampai trekking melewati pohon mangrove. Para traveler semakin sadar tentang meninggalkan jejak sedikit mungkin di destinasi wisata alam.
Menurut WTTC, bidang wisata dan perjalanan termasuk salah satu dari enam sektor ekonomi yang 80 persen keperluan barang dan jasanya sangat bergantung pada alam. Untuk mengendalikan dampak negatif wisata terhadap alam, WTTC merilis sebuah laporan yang mempresentasikan konsep terbaru mereka yaitu ‘nature positive travel’ yang diperkirakan bakal jadi tren baru berwisata.
Hal ini mendorong para wisatawan dan pelaku industri wisata untuk meninggalkan jejak positif. Tujuan inisiatif ini untuk meningkatkan kesadaran terhadap nilai biodiversitas, menganalisis dampak dari perusahaan wisata terhadap alam, berkolaborasi dengan masyarakat lokal sebagai penjaga alam dan berinvestasi pada perlindungan spesies dan rekonstruksi habitat alam termasuk hewan.
Simpson menyebutnya ide itu sebagai petunjuk praktis untuk industri wisata. Laporan WTTC membahas sejumlah cara agar industri wisata bisa meninggalkan jejak positif terhadap alam.
Â
Investasi Hijau
Inisiatif itu mengimbau agar pemerintah dan sektor wisata membuat koneksi dengan berbagai komunitas masyarakat agar bisa melindungi dan jadi penjaga alam. Simpson memberi contoh di Afrika Selatan yang marak dengan perburuan badak.
"Banyak lembaga termasuk agen pemerintah, konservasi privat dan tempat penginapan di hutan memberi insentif pada masyarakat agar komunitas setempat bisa bertindak lebih keras lagi untuk melindungi para badak," jelas Simpson.
Hal serupa terjadi di Rwanda, pemerintah mereka bekerja sama dengan warga lokal untuk mengubah tanah pertanian mereka menjadi hutan agar para gorilla bisa hidup di sana. Membangun kembali alam juga menjadi tema penting dalam laporan tersebut.
Mereka menekankan agar hotel dan resor berupaya melakukan investasi hijau. "Aku baru saja menginap di resor di Bali yang menggunakan printer 3D untuk mencetak batu karang dan memasangnya kembali di tempatnya. Hal itu dilakukan untuk membangun kembali batu karang dan melindungi ikan," ucap Simpson pada New York Times.
Advertisement
Mengurangi Penggunaan Kendaraan
Hotel-hotel seharusnya juga mengevaluasi keberlanjutan sumber energi dan rantai suplai makanan mereka. Menumbuhkan dan membuat makanan sendiri jadi salah satu cara untuk menghindari emisi transportasi karena tidak perlu banyak memakai kendaraan.
Laporan WTTC juga mengajak para pengelola hotel dan resor untuk merelokasi berbagai fasilitas untuk mengurangi penggunaan kendaraan sehingga bisa mengurangi polusi udara maupun suara. Secara individu, para wisatawan juga bisa membantu melindungi alam.
"Saat di hotel kita tak perlu mengganti sprei maupun handuk setiap hari. Kalau hotel punya banyak plastik seperti botol plastik sampo, tanyakan kenapa atau kirim email ke pengelola hotel dan meminta mereka agar tidak terlalu banyak memakai plastik," pungkas Simpson
Pandemi Covid-19 yang terjadi selama dua tahun belakangan ini memang sempat membuat dunia wisata terpuruk. Di sisi lain, pandemi juga menciptakan pola tren wisata baru di masyarakat sepanjang awal pandemi masuk ke Indonesia pada 2020 hingga memasuki masa pemulihan pada 2022.
Â
Terapi Hutan
Salah satu jenis wisata yang juga sedang jadi tren saat ini adalah wisata alam berupa forest healing alias terapi hutan. Wisata ini sudah lebih dulu populer di Jepang dan Korea Selatan. Penelitian serupa dikembangkan di Indonesia oleh tim peneliti yang merupakan mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB).
Muhammad Farhan Dirhami yang jadi bagian tim peneliti, menjelaskan bahwa penelitian forest healing dikembangkan saat dampak negatif pandemi COVID-19 dirasakan masyarakat Indonesia pada 2020. Jenis terapi ini disebut punya dua karakteristik intervensi: intervensi di lapangan dan ruangan.
"Lalu, punya durasi dan pembatasan aktivitas, yakni dilarang merokok, dilarang minum alkohol, dan dilarang menggunakan gawai," ia menyebut melalui pesan suara pada Liputan6.com, Sabtu, 19 November 2022. Farhan menyambung, terapi hutan dilakukan dengan berjalan di hutan untuk merangsang lima pancaindra manusia yang kemudian berefek terapeutik.
Ia mengatakan, tidak kurang dari delapan jenis hutan yang sudah digunakan dalam penelitian tersebut, dan terbukti berhasil. "Itu didominasi hutan wisata alam dan hutan kota dengan kriteria hutan yang perlu diidentifikasi terlebih dulu sebelum kegiatan forest healing dilaksanakan," tuturnya. "(Salah satunya), itu perlu memenuhi standar kenyamanan lingkungan dari orang-orang yang akan menjalani program tersebut."
Setelah melakukan analisis parameter uji dan respons psikologis, terapi hutan terbukti efektif mengelola stres, khususnya depresi, stres, dan perasaan yang berubah-ubah. "Dengan wilayah hutan menempati 50,1 persen dari luas daratan di Indonesia, kami melihat potensi forest healing ini sangat besar," tuturnya.
Advertisement