Liputan6.com, Jakarta - Dalam beberapa tahun terakhir, istilah revenge porn makin sering terdengar. Berbagai kasusnya pun menghiasi dunia maya, dengan banyak orang mengedukasi apa itu revenge porn dan mengapa tindakan itu merupakan salah satu bentuk kekerasan seksual dalam hubungan asmara.
Melansir Glamour UK, Rabu, 24 Mei 2023, revenge porn dijelaskan sebagai ancaman mantan pasangan atau seseorang yang dekat dengan Anda untuk berbagi foto intim tanpa persetujuan Anda. Ini juga disebut sebagai "perilaku yang biasanya merupakan bagian dari pola hubungan yang kasar."
Karenanya, revenge porn diklasifikasikan sebagai bentuk kekerasan seksual dan diperingatkan bisa berupa lebih dari sekadar satu tindakan pelecehan. Hingga akhir tahun 2022, tercatat ada lebih dari 3.000 situs web yang didedikasikan untuk revenge porn.
Advertisement
"Sebagian besar online platform memiliki kebijakan tegas yang melarang konten ini dan memiliki jalur pelaporan yang harus diikuti pengguna," kata Sophie Mortimer, manajer Revenge Porn Helpline, terkait tindakan pertama yang dilakukan jika Anda jadi korban revenge porn. Korban juga memiliki opsi hukum.
"Korban dapat mengajukan tuntutan melalui polisi atau penuntutan swasta," saran Sophie Campbell-Adams, pengacara dan pakar hukum di Britton and Time Solicitors. Green Network Asia mencatat bahwa bentuk khusus kekerasan seksual ini semakin sering terjadi, dengan kasus revenge porn yang meningkat tajam selama pandemi COVID-19.
Advokat Asosiasi Mengenai Kekerasan Seksual terhadap Perempuan, sebuah badan amal yang berbasis di Hong Kong, mengatakan bahwa kelompok tersebut menangani 133 kasus pelecehan seksual berbasis gambar pada 2020, lebih dari tiga kali lipat angka pada 2019, sebelum pandemi.
Â
Tidak Selalu Dimotivasi Balas Dendam
Istilah "revenge porn" disebut jadi yang paling sering digunakan untuk merujuk pada bentuk kekerasan ini, bahkan dalam upaya peningkatan kesadaran. Hal ini menjadi masalah karena istilah ini sarat dengan implikasi yang merugikan, menurut Green Network Asia.
Mary Anne Franks, yang karya ilmiahnya berfokus pada pelecehan online, kebebasan berbicara, diskriminasi, dan kekerasan, menunjukkan bahwa pelaku "pornografi balas dendam" tidak selalu dimotivasi oleh balas dendam.
Purple Code, sebuah kelompok feminis yang berbasis di Indonesia, menunjukkan bahwa penyebaran citra intim secara non-konsensual, sebagaimana kekerasan berbasis gender lain, sering kali dilakukan sebagai upaya melanggengkan hierarki kekuasaan, yaitu kontrol dan dominasi atas korban, bukan balas dendam.
"Balas dendam" juga mengandung arti bahwa korban telah menghasut pelaku dan melakukan sesuatu yang pantas untuk membuat seseorang, dalam hal ini pelaku revenge porn, melakukan balas dendam. Dengan pandangan ini, istilah "porno balas dendam" dinilai melanggengkan budaya menyalahkan korban.
Â
Advertisement
Tidak Hanya Perempuan
Tidak hanya perempuan, kekerasan seksual juga kerap menimpa anak laki-laki dan laki-laki. Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) di surveinya mengatakan bahwa 3 dari 10 laki-laki pernah jadi korban pelecehan. Ini pun masih berbentuk gunung es, karena banyak yang tidak mau menceritakan kasusnya.
"Jika seseorang mendapatkan kekerasan seksual, yang harus dilakukan adalah menenangkan diri dan tidak menyalahkan diri sendiri. Karena kekerasan seksual selalu 100 persen salah pelaku, terlepas dari gendernya," terang Noval, co-director Di Jalan Aman Tanpa Pelecehan (DEMAND) dan Program Manager Jakarta Feminist pada Liputan6.com, 3 Februari 2023.
Ia menyambung, "Kita juga harus tahu bahwa ada banyak orang dan lembaga yang dapat membantu kita untuk pulih, yang bisa dicek di carilayanan.com. Di sana ada lebih dari 110 lembaga layanan yang dapat membantu kita tanpa biaya."
Membantu korban kekerasan seksual sendiri bisa mulai dengan berhenti menyalahkan mereka. Setidaknya itu menurut konselor Akara Perempuan, sebuah lembaga pendampingan bagi perempuan korban kekerasan, Siti Hajar Rahmawati.
"Selain itu, kita juga bisa cek dan tanya kabar secara berkala. Itu salah satu yang penting," katanya dalam virtual media briefing bertema "Kekerasan Seksual pada Anak dan Perempuan," 28 Oktober 2022.
Kemudian, ajak korban untuk mencari bantuan. Siti mengatakan, bantuan berupa pendampingan membuat korban kekerasan seksual bisa lebih stabil secara psikologi. Pendampingan ini bahkan membuat korban "lebih nyaman" saat ingin melaporkan kekerasan yang dialaminya pada pihak berwajib.
"Jadi kalau bisa, sebelum lapor polisi, ada baiknya (korban kekerasan seksual) minta bantuan pada lembaga pendampingan maupun LBH (Lembaga Bantuan Hukum)," ia menuturkan.
Sebab Korban Kekerasan Seksual Takut Melapor
Namun, dalam praktiknya tentu tidak semudah itu. Wakil Sekjen Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI), dr. Baety Adhayati, SpFM(K), mengatakan bahwa ada beberapa sebab korban kekerasan seksual takut melapor, bahkan menceritakan kekerasan yang mereka alami pada orang lain.
"Pertama, ada ancaman. Lalu, pelaku merupakan orang yang dekat dengan korban. Ada juga relasi kuasa," tuturnya. "Kemudian, ada stigma yang berkembang bahwa korban kekerasan seksual sudah tidak perawan, dan masa depannya hancur."
Selanjutnya, dr. Baety menyebut adanya hambatan psikologi, seperti takut, malu, dan adanya rasa bersalah atau menyalahkan diri sendiri atas apa yang dialami. "Di beberapa kasus, korban malah sampai hamil, dan karena itu mereka jadi malu," imbuhnya.
Di beberapa kasus, korban justru tidak mengerti bahwa yang dialami adalah tindak kejahatan. "Ada juga hubungan kasih sayang antara korban dan pelaku," ia mengatakan. "Kemudian, untuk korban kekerasan seksual yang masih kecil, mereka biasanya belum bisa menceritakan peristiwa yang dialami."
Terakhir, dr. Baety mengatakan bahwa alasan lain korban tidak melapor adalah mereka hamil, lalu malah dinikahkan dengan pelaku. Selain, ada juga kendala pembuktian tindak kekerasan seksual.
"Salah satunya karena kejadian sudah lama, sehingga luka-luka sudah tidak ditemukan," ia memaparkan. "Lalu, korban tidak segera memeriksakan diri, sehingga bukti-bukti penting, seperti adanya ejakulat dalam alat kelamin atau di bagian tubuh lain sudah menghilang."
dr. Baety mengatakan, yang lebih menyakitkan dan harus dipahami bahwa saksi kejadian itu hanyalah korban. Memahami beratnya beban yang dirasakan korban, Siti menyebut betapa pentingnya pendampingan.
Â
Advertisement