Studi: Sedotan Kertas Mengandung Bahan Kimia Beracun yang Berpotensi Lebih Buruk bagi Lingkungan Dibandingkan Plastik

Penelitian menemukan bahan kimia forever ini melibatkan lima bahan sedotan: kertas, bambu, kaca, stainless steel, dan plastik.

oleh Asnida Riani diperbarui 30 Agu 2023, 11:00 WIB
Diterbitkan 30 Agu 2023, 11:00 WIB
Ilustrasi
Ilustrasi sedotan kertas. (dok. unsplash @jasondeblooisphotography)

Liputan6.com, Jakarta - Sedotan kertas mungkin tidak "se-ramah lingkungan" seperti yang selama ini dipromosikan. Peneliti Belgia menemukan bahwa peralatan ini beracun, dan karenanya berpotensi lebih buruk bagi lingkungan dibandingkan sedotan plastik, menurut sebuah studi baru yang diterbitkan dalam jurnal Food Additives & Contaminants.

"Sedotan yang terbuat dari bahan nabati, seperti kertas dan bambu, sering kali diiklankan lebih ramah lingkungan dibandingkan sedotan plastik," kata Thimo Groffen, Ph.D., penulis studi dan ilmuwan lingkungan di Universitas Antwerpen, dalam sebuah pernyataan, dilansir dari NY Post, Selasa, 28 Agustus 2023.

Ia menyambung, "Namun, adanya PFAS (zat berbasis poli dan perfluoroalkil yang dikenal sebagai bahan kimia forever karena dapat bertahan lama sebelum terurai) di dalam sedotan menunjukkan bahwa hal tersebut belum tentu benar."

Penelitian baru ini muncul menyusul berbagai inisiatif yang diberlakukan banyak kota di AS, termasuk New York, dan jaringan restoran untuk melarang sedotan plastik sekali pakai yang terbuat dari polipropilen dan polistiren, yang membutuhkan waktu ratusan tahun untuk terurai.

Menurut makalah penelitian baru, ini adalah "argumen yang tidak masuk akal," karena alternatif "sedotan ramah lingkungan" berpotensi mengandung lebih banyak PFAS daripada versi plastik yang "jahat."

Demimenyimpulkan teori kaliptik-sedotan ini, peneliti menganalisis konsentrasi PFA dari 39 merek sedotan, yang terdiri dari lima bahan: kertas, bambu, kaca, stainless steel, dan plastik.

Temuan Peneliti

Ilustrasi Sedotan Kertas
Sedotan kertas ramah lingkungan (Meghan Rodgers/Unsplash).

Peneliti menemukan, sedotan kertas adalah yang paling banyak mengandung PFA, yakni sampai 90 persen sampel. Sementara, sedotan bambu menempati urutan kedua dengan persentase 80 persen, diikuti 75 persen sedotan plastik, 40 persen sedotan kaca, dan tidak ada untuk sedotan stainless steel.

Sejauh ini, PFA yang paling umum adalah asam perfluorooctanoic, yang telah dilarang secara global sejak 2020. Namun, zat ini masih diproduksi di beberapa negara dan mungkin terdapat pada produk yang dibeli konsumen.

Juga, terdapat asam trifluoroasetat dan asam trifluoromethanesulfonic, PFAS yang mudah larut dalam air, sehingga berpotensi larut dari sedotan ke dalam minuman.

"Keberadaan PFAS pada sedotan kertas dan sedotan bambu menunjukkan bahwa bahan-bahan tersebut belum tentu dapat terurai secara hayati," Groffen memperingatkan. 

Tidak jelas bagaimana zat-zat ini, yang telah digunakan sejak tahun 1940-an untuk mengusir air dan lemak dalam segala hal mulai dari peralatan masak hingga karpet, bisa sampai ke dalam sedotan. Kendati, keberadaannya di setiap merek menunjukkan bahwa bahan kimia beracun itu sengaja ditambahkan sebagai penolak cairan.

 

Efek pada Tubuh Manusia

Sedotan kertas/Meghan Rodgers Unsplash
Sedotan kertas/Meghan Rodgers Unsplash

Sumber PFA potensial lain dapat berasal dari tanah tempat bahan nabati ditanam, serta air yang digunakan dalam pembuatannya, menurut Phys.org. Untungnya, konsentrasi PFAS yang rendah, seperti jumlah yang tertelan dari penggunaan sedotan, tidak menimbulkan risiko kesehatan yang serius.

Namun, penelitian pada hewan menunjukkan bahwa akumulasi bahan kimia ini dari waktu ke waktu dapat menyebabkan serangkaian efek samping yang mengerikan. Ini termasuk kerusakan hati, melemahnya sistem kekebalan tubuh, berat badan bayi kurang, bahkan kematian bayi.

Namun, efek jangka panjang pada manusia belum diketahui karena uji coba pada hewan dilakukan dengan kadar PFA yang lebih tinggi. Berdasarkan temuan tersebut, Goffen menyimpulkan, sedotan berbahan nabati mungkin tidak seramah itu pada lingkungan dan mungkin hanya ada satu alternatif yang benar-benar ramah lingkungan, selain plastik.

"Kami tidak mendeteksi adanya PFAS pada sedotan stainless steel. Jadi, saya menyarankan konsumen untuk menggunakan sedotan jenis ini atau hindari penggunaan sedotan sama sekali," saran peneliti.

Sedotan dari Pasta

Sedotan Psta
Pasta gantikan plastik sebagai bahan baku sedotan. (dok. Instagram @stroodles_straws/https://www.instagram.com/p/B0NsF0rIDu8/)

Sebenarnya sudah banyak ide pengganti sedotan plastik. Namun, tidak seluruhnya diberdayakan secara berkelanjutan, termasuk sedotan berbahan pasta. Pada 2019, deretan bar di Italia mulai menggantikan sedotan plastik dengan sedotan pasta.

Inovasi ini dikatakan sangat mungkin jadi alternatif di tengah kebutuhan akan bahan-bahan lebih ramah lingkungan. Komitmen ini didukung dengan keberadaan perusahaan yang memproduksi sedotan pasta, Stroodles.

Melansir Bored Panda, 9 Oktober 2019, pihaknya menjelaskan, sedotan pasta bisa bertahan lebih dari satu jam setelah dicelupkan ke minuman dingin. Makin dingin minumannya, makin lama sedotan pasta bisa bertahan. Sementara, untuk minuman panas memang tidak direkomendasikan diminum dengan sedotan, lantaran dapat membuat lidah terbakar.

"Setelahnya (sedotan pasta) bisa ditinggalkan untuk jadi kompos," tutur Founder Stroodles Maxim Gelmann. Pasta dpilih sebagai bahan baku, bukan karena sudah sangat lekat dengan Italia, tapi juga dikenal hampir semua orang di dunia.

"Jadi, kami bisa menyolek mereka yang paparan informasinya cenderung rendah tentang produk ramah lingkungan," tambahnya. Maxim mengatakan, sedotan pasta hanya langkah awal perusahaannya melawan penggunaan plastik sekali pakai.

Bahaya Sampah Plastik di Laut
Infografis bahaya sampah plastik di laut. (dok. TKN PSL)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya