, Jakarta - Paus Fransiskus meninggal pada Senin 21 April 2025. Sepeninggalnya, kenangan demi kenangan terhadap sang pemimpin gereja Katolik dunia mengemuka.
Leonardo Boff, teolog pembebasan asal Brasil, pernah menyatakan dengan tegas kepada DW pada 2013: "Paus ini akan mengubah Gereja Katolik." Pernyataan itu disampaikannya tak lama setelah terpilihnya Paus Fransiskus. Kini, prediksi itu terbukti—Fransiskus memang membawa perubahan signifikan, meski harapan dari banyak umat, khususnya di Global Selatan, masih jauh dari terwujud.
Baca Juga
Ramalan Boff tak meleset. Fransiskus benar-benar telah menghadirkan perubahan besar dalam tubuh Gereja Katolik.
Advertisement
Paus Fransiskus memimpin Gereja Katolik selama 12 tahun. Warga Amerika Latin pertama yang menduduki jabatan itu, tradisional sekaligus terbuka terhadap perubahan. Namun tak sempat memenuhi banyak harapan untuk reformasi.  Â
Jorge Bergoglio, yang sebelumnya tak banyak dikenal sebagai Uskup Agung Buenos Aires, memulai kepemimpinannya dengan penuh harapan. Di Hari Pemuda Sedunia 2013 di Rio de Janeiro, ia disambut antusias oleh jutaan umat saat menyerukan "pilihan untuk kaum miskin", membasuh kaki narapidana, dan mengkritik keras ketimpangan kapitalisme.
"Dia sudah lama membela hak-hak kaum miskin sejak menjadi uskup," kata jurnalis Argentina, Miguel Hirsch kepada DW yang dikutp Selasa (22/4/2025). Komitmen ini terus terlihat melalui lebih dari 40 kunjungannya, sebagian besar ke negara berkembang, serta kritiknya yang konsisten terhadap sistem kapitalis yang eksploitatif.
Perjuangan untuk Lingkungan dan Perubahan Iklim
Paus Fransiskus juga dikenal sebagai pemimpin yang vokal tentang isu lingkungan. Dalam ensiklik Laudato Si’ (2015), ia menegaskan bahwa perlindungan alam dan perjuangan melawan kemiskinan adalah dua hal yang tak terpisahkan.
"Dengan Laudato Si’, Paus berusaha menyentuh hati para penguasa," ujar Pirmin Spiegel, CEO Misereor. Sementara Uskup Agung Fiji, Peter Loy Chong, menekankan bahwa perubahan iklim dan migrasi adalah isu krusial bagi masyarakat Pasifik.
Leonardo Boff memuji ensiklik ini sebagai langkah bersejarah. "Ini pertama kalinya seorang Paus membahas ekologi secara holistik," tulisnya, mencatat banyaknya kesamaan dengan teologi pembebasan Amerika Latin.
Â
Pengaruh Eropa yang Memudar dan Dinamika Global Baru
Di bawah kepemimpinan Paus Fransiskus, pengaruh Eropa—yang lama menjadi pusat Gereja Katolik—pelan-pelan berkurang. Ia secara strategis memperluas jejaring Vatikan ke dunia non-Barat. Prediksi Boff tentang munculnya "dinasti Paus dari Dunia Ketiga" mulai terlihat dengan diangkatnya kardinal-kardinal baru dari Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
Data Pew Research Center menunjukkan mayoritas kardinal pemilih kini berasal dari luar Eropa. Meski demikian, Eropa tetap memiliki representasi signifikan mengingat seperempat umat Katolik dunia masih berada di sana.
Reformasi yang Tertunda
Meski terjadi pergeseran geografis, reformasi struktural dalam Gereja Katolik masih lambat. Kekecewaan muncul setelah Sinode Amazon 2019, di mana harapan untuk mengizinkan viri probati (pria menikah menjadi imam) dan diakon perempuan pupus.
"Dua pertiga uskup di Sinode mendukung hal itu, tetapi Paus justru menolak," kata Pirmin Spiegel dengan nada kecewa. "Bola sudah di depan gawang, tapi malah ditendang keluar."
Namun, Fransiskus berhasil mereformasi Kuria, badan administratif Vatikan, dan mengangkat dua biarawati sebagai pemimpin dikasteri—jabatan yang biasanya diisi kardinal.
Advertisement
Tantangan dalam Menangani Skandal Pelecehan Seksual
Paus Fransiskus kerap menyatakan "toleransi nol" terhadap pelecehan seksual, tetapi keputusannya dinilai tidak konsisten. Meski ia memecat puluhan uskup yang terlibat, banyak korban kecewa dengan lambatnya tindakan terhadap pelaku di lingkaran dalam Gereja.
"Mengapa Paus tidak mengucilkan pelaku terburuk? Mengapa hanya memensiunkan uskup yang tutup mata?"Â tanya David Clohessy dari SNAP (Survivors Network of those Abused by Priests).
Di Chile, skandal pelecehan bahkan memicu pengunduran diri massal para uskup pada 2018—sebuah peristiwa langka dalam sejarah Gereja.
Di tengah kritik, Paus Fransiskus tetap menjadi simbol harapan bagi kaum papa (yang miskin dan tertindas). Ia mengkanonisasi Oscar Romero, Uskup Agung El Salvador yang dibunuh karena membela kaum papa.
Paus Fransiskus juga aktif menyerukan perdamaian, mengutuk perang di Gaza dan Ukraina, meski pandangannya sering dianggap naif oleh pihak yang pro-militer.
Dalam hal hubungan antar-iman, ia menjadi Paus pertama yang mengunjungi Jazirah Arab, menandatangani dokumen "Persaudaraan Manusia" dengan pemimpin Muslim di Abu Dhabi (2019), dan bertemu komunitas Syiah di Irak (2021). Kunjungannya ke Masjid Istiqlal di Indonesia juga menjadi simbol rekonsiliasi.
"Terowongan penghubung masjid dan katedral ini adalah simbol persahabatan,"Â ujarnya.
"Mengenai hal ini, haruslah disebut terowongan bawah tanah 'terowongan persahabatan' yang menghubungkan Masjid Istiqlal dan Katedral Santa Maria Diangkat ke Surga. Ini adalah simbol yang bermakna, yang memperkenankan dua tempat ibadah agung tidak hanya berada berhadapan satu sama lain, tapi terhubung satu sama lain," kata Paus Fransiskus di Masjid Istiqlal, Kamis 5 September tahun lalu.
Akhir Masa Kepausan: Kesehatan dan Tantangan Global
Kesehatan Fransiskus semakin menurun sejak 2021. Namun, di tengah dunia yang terpecah oleh konflik, ia tetap menjadi suara moral. Salah satu momen paling ikonik adalah ketika ia berdoa sendirian di Lapangan Santo Petrus yang gelap saat pandemi COVID-19, memohon belas kasih bagi dunia yang menderita.
Paus Fransiskus telah mengguncang Gereja dengan pendekatannya yang revolusioner. Namun, di balik perubahan yang ia bawa, Gereja Katolik masih menghadapi jalan panjang untuk mewujudkan harapan akan reformasi yang lebih mendalam. Â
