Sejarah Candi Sukuh di Lereng Kaki Gunung Lawu, Ditemukan 208 Tahun Lalu

Kekayaan budaya Indonesia telah berhasil memikat wisatawan dalam dan luar negeri. Salah satunya dengan kehadiran deretan candi di berbagai wilayah, tak terkecuali Candi Sukuh di Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.

oleh Putu Elmira diperbarui 03 Sep 2023, 14:30 WIB
Diterbitkan 03 Sep 2023, 14:30 WIB
Antropolog Perancis Eksplore Gerak di Candi Sukuh
Ritual menyambut matahari pertama di lereng gunung Lawu, Candi Sukuh, Senin (1/1/2018). (foto: Liputan6.com/ibra/edhie prayitno ige)

Liputan6.com, Jakarta - Kekayaan budaya Indonesia telah berhasil memikat wisatawan dalam dan luar negeri. Salah satunya dengan kehadiran deretan candi di berbagai wilayah, tak terkecuali Candi Sukuh di Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.

Dikutip dari laman resmi Badan Otorita Borobudur, Minggu (3/9/2023), sejarah Candi Sukuh pertama kali ditemukan pada 1815 oleh Johnson, Residen Surakarta. Ketika menemukannya, Johnson hanya meneliti untuk mengumpulkan data-data sebagai bahan untuk menulis buku "the History Of Java" yang dilakukan oleh Thomas Stamford Raffles.

Setelah masa pemerintahan Britania Raya berlalu, Van Der vlies yang merupakan arkeolog Belanda meneliti pemugaran pertama yang dimulai pada 1928. Fakta tersebut menunjukkan bahwa Candi Sukuh telah ada sejak lama dan sampai kini masih terawat.

Candi Sukuh termasuk dalam Kompleks candi Hindu di Karanganyar. Lokasi ini mudah ditemukan oleh para wisatawan yang ingin berwisata ke tempat ini.

Candi ini berlokasi di lereng kaki Gunung Lawu dengan ketinggian kurang lebih 1.186 meter. Tingginya lokasi tersebut menjadikan daerah dari Candi Sukuh ini sangat sejuk sehingga banyak diminati oleh wisatawan.

Bagi wisatawan yang ingin berkunjung harus menempuh jarak 20 kilometer (km) dari Kota Karanganyar dan 36 kilometer dari Surakarta. Candi ini mengesankan kesederhanaan juga mencolok bagi yang berkunjung.

Kesederhanaan dari candi ini terlihat dari bentuk bangunannya yang hampir sama dengan budaya Maya di Meksiko atau peninggalan budaya Inca di Peru. Fakta dari bangunan tersebut menarik minat peneliti dari Belanda pada 1930.

Peneliti tersebut memberikan tiga argumen mengenai struktur bangunan yang sedikit aneh. Salah satu argumennya, yakni mereka menganggap bahwa pembangunan candi tersebut dilakukan secara terburu-buru sehingga menjadikan strukturnya tidak rapi. Dari segi bentuk memang candi ini tidak sama dengan Candi Prambanan dan Borobudur yang terlihat menawan.

 

Bangunan Candi Sukuh

Sekilas Tentang Candi Sukuh
Clair mengawali dengan duduk bersimpuh. (foto: Liputan6.com/ibra/edhie prayitno ige)

Dikutip dari laman Ditjen Kebudayaan Kemendikbud, bangunan Candi Sukuh terletak di atas tanah seluas 11.000 meter persegi. Bangunan candi terdiri atas tiga halaman berundak yang satu sama lain dihubungkan dengan lorong berundak.

Halaman yang paling penting adalah yang paling atas atau paling belakang. Mengikuti aturan percandian, masuk lewat pintu gerbang dari sebelah barat (ada jalan terobosan dari selatan).

Gerbang dari batu andesit ini istimewa, megah, berbentuk paduraksa. Pada lantainya yang sempit terdapat panil dengan relief yang mengejutkan berupa pertemuan alat kelamin pria dan perempuan yang kira-kira berukuran alamiah dengan pahatan yang artistik.

Pada keempat sisi gapura dipahatkan beberapa relief berupa raksasa, ular, burung dan lain-lain yang dimaksudkan sebagai candra-sangkala (angka tahun yang tersamar). Area dwarapala yang semestinya menghiasi kanan kiri gapura sudah tiada.

Di bagian selatan halaman pertama ada beberapa potong batu dengan relief iring-iringan orang naik kuda diiringi pengawal berpayung dan bersenjata. Ada pula relief orang menunggang gajah, binatang lembu dan babi terdapat pada batu yang lain.

Relief Candi Sukuh

Claire
Suprapto Suryodarmo menyapa matahari pertama tahun 2018, menemani antropolog Perancis Claire Loussouarn di pelataran Candi Sukuh lereng Gunung Lawu, Senin (1/1/2018). (foto: Liputan6.com/ibra/edhie prayitno ige)

Dari halaman pertama berlanjut naik ke halaman tengah lewat gerbang tanpa atap dengan tangga sempit yang dijaga oleh area dwarapala gaya megalit yang kaku. Di bagian tenggara halaman ini terdapat sisa runtuhan bangunan batu.

Pada dinding yang masih tersisa terdapat relief perangkat pandai besi yang sedang bekerja. Pada halaman ketiga dan paling atas terdapat beberapa bangunan besar dan kecil, area-area lepas, prasasti, relief pada bangunan induk menyerupai piramida atau limas terpenggal bagian atas.

Bagian atasnya berupa umpak. Di tempat yang paling suci ini dahulu terdapat lingga/phallus batu berukuran raksasa, dipahat dalam bentuk natural dengan empat bulatan pada ujungnya. Di depan candi induk yang menghadap ke barat terdapat area tiga ekor kura-kura raksasa.

Di halaman sebelah utara terdapat satu barisan relief binatang bersambung adegan cerita Sudamala. Dewi Uma permaisuri Bhatara Guru yang berkhianat dikutuk menjadi raksasi Bhatari Durga merajai segala macam hantu di Kretra Gandarnamayu.

Yang meruwat (melepaskan dari belenggu kutuk)-nya sehingga kembali sebagai bidadari cantik Bhatari Uma adalah Sadewa (saudara bungsu Pandawa). Di samping Dewi Uma juga bidadari Citrasena dan Citranggada dikutuk jadi raksasa Kalantaka dan Kalanjaya oleh Pandawa, terutama Bima.

Ada pula relief lain yakni Garudeya, garuda membebaskan ibunya dari hukuman perbudakan, kisah Prasthanikaparwa, Pandawa menuju puncak Himalaya dalam perjalanan kembali ke akhirat. Di depan candi induk ada pula sebuah bangunan yang diyakini oleh masyarakat sekitar tempat Kyai Sukuh.

Bentuk Percandian

sukuh
Antropolog Perancis Alaire Loussouarn mengawali ritus menyambut matahari pertama dengan duduk bersimpuh di pelataran candi sukuh. (foto: Liputan6.com/ibra/edhie prayitno ige

Pada bangunan menyerupai tugu di atas batur di depan pintu candi induk sebelah utara ada panel dalam bentuk tapal kuda (pelangi) berisi relief tokoh Bima dan Dewa Ruci. Sebuah tugu lagi berpahatkan relief Garudeya. Di sebelah selatan ada relief tokoh dewa memegang trisula dalam bingkai bulat bertangkai. Beberapa patung berupa garuda dan tokoh laki-laki yang memegang phallusnya.

Meski lokasinya di Jawa Tengah, tetapi Candi Sukuh sangat berbeda dengan candi-candi Prambanan, Sewu, Plaosan dan lain-lain dari sekitar abad 8--10. Susunan halaman, area-area, gaya pahatan, bahkan seluruh konsepsinya sangat berbeda.

Area Dewa Trimurti atau Bhuda tidak kita temukan di Candi Sukuh, tetapi yang kita temukan lingga (phallus), area Bima (sekarang di Solo), Garuda, area laki-laki telanjang gaya megalitik, bahkan bentuk pertemuan alat kelamin pria dan perempuan, ini menunjukkan gejala munculnya kembali tradisi pemujaan phallisme.

Bentuk percandian yang menyerupai punden berundak dan salah satu candinya dipandang sebagai kediaman cikal bakal desa Sukuh dan lain-lain. Konsepsi candi ini mengacu pada tempat pemujaan nenek moyang dari masa pra pengaruh Hindu. Munculnya cerita-cerita Sudamala, Garudeya, Bima Suci Sthanikaparwa semua bertemakan ruwatan atau pelepasan dari bermacam-macam belenggu keduniawian.

Beberapa angka tahun dan candra-sangkala yang terdapat di Candi Sukuh mengacu ke pertengahan abad 15, bersamaan dengan periode akhir Majapahit seperti candi-candi lain di lereng Gunung Lawu. Konsepsi dan bentuknya lebih dekat dengan Jawa Timur dan Bali daripada candi-candi sederhana di Jawa Tengah.

Infografis Candi Prambanan
Infografis Candi Prambanan (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya