Liputan6.com, Jakarta - Kebakaran hutan melanda Taman Nasional Baluran, Banyuputih, Situbondo, Jawa Timur pada Senin, 25 September 2023. Akibat peristiwa tersebut, pihak Balai Taman Nasional Baluran memutuskan untuk menutup kunjungan wisata di kawasan tersebut.
Kabar ini disampaikan melalui unggahan di akun Instagram resmi Taman Nasional Baluran @btn_baluran. Penutupan kunjungan wisata di kawasan pelestarian alam ini tertuang dalam Surat Edaran Nomor: SE. 01/T.37/TU/KSA.1/9/2023 tentang Penutupan Aktivitas/Kegiatan Kunjungan Wisata pada Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam Taman Nasional Baluran.
"Berdasarkan kondisi di lapangan, Taman Nasional Baluran saat ini sedang terjadi Kebakaran hutan (Karhut) di wilayah Gunung Baluran sebelah timur yang berdekatan dengan lokasi wisata Jalur I (Batangan-Bekol-Bama)," demikian bunyi pernyataan dalam surat edaran itu.
Advertisement
Keterangan dilanjutkan, "Demi keamanan dan operasi pengendalian kebakaran hutan maka Balai Taman Nasional Baluran menyampaikan kepada seluruh wisatawan/pengunjung bahwa Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam (ODTWA) pada kawasan Taman Nasional Baluran dinyatakan DITUTUP mulai tanggap 25 s.d 30 September 2023."
Surat Edaran tersebut dirilis pada Senin, 25 September 2023 di Situbondo. Surat tersebut ditandatangani oleh Plh. Kepala Balai Probo Wresni Adji.
"Mohon Maaf atas Ketidaknyamanan ini, Semoga Kebakaran Hutan di TN Baluran segera dipadamkan dan Aktivitas Wisata kembali dibuka. Salam Konservasi Salam Lestari," bunyi keterangan dalam unggahan di Instagram tersebut.
Kabar Taman Nasional Baluran ditutup akibat kebakaran hutan ini turut direspons oleh calon pengunjung. Tak sedikit dari mereka yang kecewa atas penutupan, namun di sisi lain, banyak pula yang berdoa agar kebakaran cepat padam.
Kebakaran Hutan Jati pada Juni 2023
Sebelumnya, kebakaran melalap hutan jati yang berada di kawasan Taman Nasional Baluran pada Minggu malam, 11 Juni 2023. Butuh waktu sekitar dua jam untuk memadamkan si jago merah di destinasi wisata yang berlokasi di Desa Sumberwaru, Kecamatan Banyuputih tersebut.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Situbondo Sruwi Hartanto menyebut kebakaran hutan jati di kawasan Taman Nasional Baluran terjadi sekitar pukul 21.30 WIB.
"Kebakaran hutan jati informasi yang kami terima terjadi sekitar pukul 20.30 WIB, setelah mendapatkan informasi petugas dari BPBD langsung lokasi dan api berhasil dipadamkan pada pukul 21.40 WIB," kata Sruwi, dikutip dari Regional Liputan6.com.
Ia menyebut kebakaran hutan jati terjadi di Blok Pengarengan, RPTN Watunumpuk. Daun jati, ranting, hingga semak yang mulai mengering pada musim kemarau tahun ini membuat dengan cepat api merambat.
Ia menyampaikan bahwa kebakaran hutan jati di kawasan Taman Nasional Baluran diperoleh informasi dari masyarakat. Selanjutnya, BPBD bersama anggota pemadam kebakaran langsung menuju lokasi.
"Begitu mendapatkan informasi kebakaran, petugas Taman Nasional Baluran bersama pemadam kebakaran SPTN W II sampai di Blok Pengarengan sekitar pukul 21.45 WIB," lanjutnya.
Sruwi melanjutkan, untuk memadamkan kebakaran hutan jati di kawasan Taman Nasional Baluran itu, pemadaman api dilakukan secara manual menggunakan kepyok dan jet shooter, agar kebakaran tidak merembet ke area lainnya. "Mengenai penyebab kebakaran hutan, hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti," ujar dia.
Advertisement
Eksistensi Kawasan Taman Nasional Baluran
Â
Dikutip dari laman Taman Nasional Baluran, sejarah Taman Nasional Baluran dimulai sejak 1920 silam. Itu berarti kawasan pelestarian alam ini telah eksis selama 103 tahun lamanya.
Kawasan Baluran ini hadir dengan usulan pencadangan hutan Bitakol seluas sekitar 1.553 hektare untuk ditetapkan sebagai areal hutan produksi tanaman jati (jatibosch) (Wind dan Amir, 1977). Pada 1928, langkah konservasi kawasan Baluran telah dilakukan sejak lama pada masa pemerintahan Hindia Belanda.
Rintisan penunjukannya menjadi suaka margasatwa telah dilakukan oleh Kebun Raya Bogor sejak 1928. Rintisan ini didasarkan pada usulan A.H. Loedeboer (pemegang konsesi lahan perkebunan pada sebagian kawasan Baluran di daerah Labuhan Merak dan Gunung Mesigit kala itu).
Pada 23 Januari 1930 diterbitkan Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda No. 83 (Gouvernement Besluit van 23 Januari 1930, No. 83) yang menetapkan Baluran sebagai Hutan Lindung (Boschreserve). Kemudian pada 25 September 1937, Pemerintah Hindia Belanda menerbitkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda No. 9, Lembaran Negara Hindia Belanda 1937, No. 544 (Besluit van Gouverneur Generaal van Nederlandsch-Indië van 25 September 1937, No. 9, Staatsblad van Nederlandsch- Indië 1937, No. 544) yang berisi keputusan areal Baluran ditunjuk sebagai Suaka Margasatwa (wildreservaat) seluas sekitar 25.000 hektare.
Pada penunjukan kawasan Baluran sebagai wild resevaat (game reserve) pada 1937, areal hutan produksi jati Bitakol dimasukkan juga sebagai bagian kawasan dimaksud seluas total sekitar 25.000 hektare. Namun, penebangan dan penanaman jati terus dilakukan dalam skala kecil.
Pada 1949, jawatan kehutanan Banyuwangi merencanakan pengelolaan hutan untuk hutan Bitakol, diperluas hingga daerah lain di sepanjang jalan provinsi meliputi total areal seluas 4.739 hektare. Areal ini tidak pernah dikeluarkan dari kawasan suaka oleh pemerintah, dan meski disahkan oleh jawatan kehutanan di Jawa sebagai areal pemanfaatan jangka pendek mulai 1955 sampai 1964, kegiatan eksploitasi terus meningkat.
Area hutan seluas sekitar 1.000 hektare ditebang habis dan ditanami kembali dengan jati mulai 1955 sampai 1965 dan selanjutnya pada areal seluas sekitar 2.000 hektare mulai 1966 sampai 1976. Kampung-kampung masyarakat juga dibuat di areal ini (masih dalam kawasan suaka) pada periode itu untuk menyediakan tenaga kerja dalam pengelolaan areal hutan yaitu di blok Panggang dan Sidorejo (Wind dan Amir, 1977).
Taman Nasional Baluran hingga Kini
Berkaitan lahan konsesi (HGU) di Labuhan Merak pada 11 Mei 1962, Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria No.SR/II.P.A/1962 menyebutkan tanah konsesi Labuhan Merak seluas 293,6 hektare dimasukkan ke Suaka Margasatwa Baluran. Pada 6 Maret 1980, bertepatan dengan pelaksanaan kongres Taman Nasional sedunia di Bali, Kawasan Baluran termasuk menjadi salah satu dari lima kawasan yang dideklarasikan sebagai taman nasional oleh Menteri Pertanian dengan luas sekitar 25.000 hektare.
Penunjukan secara resmi berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 279/Kpts-VI/1997 tanggal 23 Mei 1997 seluas sekitar 25.000 hektare. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 279/Kpts-VI/1997 ini secara resmi merubah status kawasan Baluran yang semula Suaka Margasatwa menjadi Taman Nasional.
Pada amar pertama keputusan tersebut, ditetapkan perubahan fungsi Suaka Margasatwa Baluran seluas 23.317 hektare dan perairan sekitarnya seluas 1.287 hektare yang terletak di Kabupaten Dati II Situbondo, Propinsi Dati I Jawa Timur menjadi Taman Nasional Baluran dengan luas 25.000Â hektare, di dalamnya termasuk bagian hutan Bitakol seluas 5.612,3 hektare.
Pada 21 Juli 2011, diterbitkan lagi Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : SK.395/Menhut-II/2011 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 417/Kpts-II/1999 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur seluas 1.357.206,30 hektare. Perubahan tersebut mencakup perubahan luas kawasan hutan dan konservasi perairan di wilayah Provinsi Jawa Timur menjadi seluas sekitar 1.361.146 hektare. Kawasan Taman Nasional Baluran termasuk sebagai bagian di dalam Kawasan Suaka Alam/Kawasan Pelestarian Alam (KSA/KPA) seluas 230.126 hektare (4,8 persen) untuk wilayah daratan daratan dan 3.506 hektare (0,07 persen) wilayah perairan.
Advertisement