Liputan6.com, Jakarta - Perang Israel-Hamas berdampak pada banyak pihak, termasuk orang Palestina yang berada di Israel. Pada Sabtu, 7 Oktober 2023, Noura (bukan nama sebenarnya) berangkat bekerja seperti biasa pada pagi hari ke rumah sakit di Israel tempat ia bekerja selama lebih dari dua tahun.
Ahli kesehatan asal Palestina ini telah melihat sekilas berita penyerangan Hamas, namun karena terburu-buru, ia belum sepenuhnya memahami apa yang terjadi di negara tersebut. Jadi, ketika seorang rekan kerja yang tampak terguncang berbicara pada Noura tentang apa yang terjadi, ia menjawab dengan mengatakan, "Ini bukan pertama kalinya."
Itu adalah tanggapan yang sekarang ia akui "kurang berempati." Namun ketika rincian lebih lanjut mulai terungkap dan serangan jadi lebih jelas, Noura dipanggil ke kantor manajernya, diberitahu untuk meninggalkan pekerjaannya dan tidak kembali sampai pemberitahuan lebih lanjut, karena percakapan sebelumnya dengan rekannya.
Advertisement
"Saya merasa sangat terhina, saya tidak percaya hal ini terjadi pada saya," kata Noura, yang merupakan salah satu dari 1,2 juta orang Palestina yang jadi warga negara Israel, dikutip dari Al Jazeera, Rabu (18/10/2023). "Saya merasa didiskriminasi."
"Hari demi hari, Anda tidak merasakannya. Tapi Anda merasakannya ketika hal seperti ini terjadi. Anda tahu bahwa secara otomatis Anda berubah dari teman menjadi musuh," ia menambahkan.
Tidak lama setelah itu, ia menerima surat dari manajemen rumah sakit yang mengabarkan ia dipanggil ke sidang untuk meresmikan skorsingnya dengan alasan ia telah melanggar kode disipliner rumah sakit tersebut, dengan diduga mendukung serangan Hamas.
Bantahan Si Pekerja Palestina
Noura membantah pernah mengucapkan kata-kata yang dituduhkan padanya. "Yang paling menghina saya adalah ketika mereka memanggil saya untuk sidang, mereka sudah menetapkan, keputusan sudah diambil. Mereka tidak mau mendengarkan," kata Noura tentang sidang yang diperkirakan akan segera dilakukan.
Ia berbicara pada Al Jazeera dengan syarat anonim karena, terlepas dari segalanya, ia berharap dapat didengarkan secara adil dan mempertahankan pekerjaannya. Faktanya, Noura tidak sendirian.
Pengacara dan organisasi hak asasi manusia di Israel telah menerima lusinan pengaduan, baik dari pekerja maupun pelajar yang, sejak Sabtu lalu, tiba-tiba diskors dari sekolah, universitas, dan tempat kerja karena unggahan media sosial atau, dalam beberapa kasus, percakapan dengan rekan kerja.
Surat yang dikirim beberapa lembaga atau kantor mereka mengutip unggahan yang ditulis di media sosial dan dugaan dukungan terhadap "terorisme" sebagai alasan penangguhan segera sampai "masalah tersebut diselidiki." Di beberapa kasus, penerima telah dipanggil untuk menghadap komite disiplin.
"Orang-orang yang telah bekerja selama tiga, empat, lima tahun mendapati diri mereka menerima surat yang mengatakan jangan masuk kerja karena apa yang Anda publikasikan," kata Hassan Jabareen, direktur Adalah, Pusat Hukum untuk Hak-Hak Minoritas Arab di Israel.
Advertisement
Selusin Pekerja Diskors
Dalam beberapa kasus, "mereka mengatakan sidang akan diadakan di kemudian hari, namun mereka tidak (menentukan) kapan," katanya. "Sidang harus diadakan sebelum Anda mengambil keputusan."
Adalah mengetahui setidaknya ada selusin pekerja yang diskors sejak Sabtu lalu karena kondisi serupa, sebagian besar karena unggahan di media sosial. Mereka juga menerima pengaduan dari sekitar 40 mahasiswa Palestina di universitas dan perguruan tinggi Israel yang telah menerima surat pengusiran atau skorsing dari institusi mereka.
Wehbe Badarni, direktur Serikat Pekerja Arab di kota utara Nazareth, juga mengatakan pada Al Jazeera bahwa serikat pekerja tersebut menindaklanjuti lebih dari 35 pengaduan, termasuk pelajar dan pekerja di rumah sakit, hotel, pompa bensin, serta restoran.
Di satu surat yang dilihat Al Jazeera, sebuah perusahaan telah memanggil seorang karyawan ke sidang telepon untuk "memeriksa kemungkinan pemutusan hubungan kerja dengan perusahaan tersebut" atas "unggahan yang mendukung aktivitas dan hasutan teroris."
"Hasutan untuk melakukan terorisme adalah tuduhan serius yang perlu dibuktikan di pengadilan," kata Salam Irsheid, pengacara Adalah. "Menurut kami, apa yang terjadi saat ini tidak sah."
Ada Suasana Teror
Petugas kesehatan lain yang dihubungi Al Jazeera di Tel Aviv mengatakan ia melakukan segala yang ia bisa untuk tidak menonjolkan diri, karena takut akan "pembalasan." "Tidak ada yang membicarakan situasi ini, saya dihadapkan dengan wajah marah setiap pagi mengingat saya satu-satunya orang Palestina yang bekerja di sana," katanya.
"Berita ini sangat mengerikan, tapi ketika saya sedang bekerja, saya mencoba berpura-pura bahwa semuanya hanyalah berita. Saya tidak bisa mengungkap atau berbicara tentang apa yang terjadi," katanya. "Sejak perang terakhir (pada 2021) semua orang tidak menonjolkan diri."
Dokter untuk Hak Asasi Manusia Israel, sebuah organisasi nirlaba yang didirikan lebih dari tiga dekade lalu di Jaffa, telah menangani beberapa kasus penangguhan pekerja medis sejak tahun 2021, setelah perang terakhir antara Hamas dan Israel, menurut ketua dewan Dr Lina Qassem Hasan.
Dalam satu kasus terkenal, Ahmad Mahajna, seorang dokter di rumah sakit Hadassah di Yerusalem, diskors karena menawarkan permen pada seorang remaja Palestina yang berada di bawah tahanan polisi di rumah sakit tersebut, di mana ia dirawat karena luka tembak setelah dugaan serangan. "Ada suasana teror, orang-orang ketakutan," kata Dr Qassem.
Advertisement