Liputan6.com, Jakarta - Tujuh maskapai penerbangan Korea Selatan didenda karena gagal mendesain atau mengoperasikan pengaturan kursi prioritas dan menyediakan informasi yang cukup untuk penumpang dengan disabilitas gerak. Kementerian Pertanahan, Infrastruktur, dan Transportasi Korea mengumumkannya pada Rabu, 7 Agustus 2024.
Pihak berwenang mengenakan denda sebesar 2,5 juta won (sekitar Rp29 juta) pada masing-masing maskapai penerbangan. Keenamnya adalah Jeju Air, T’way Air, Air Seoul, Air Premia, Air Busan, Eastar Jet dan Aero K.
Menurut kementerian, maskapai penerbangan tersebut melanggar standar kenyamanan lalu lintas udara bagi mereka yang memiliki masalah mobilitas. Operator angkutan udara harus mematuhi standar untuk menjamin keselamatan penumpang penyandang disabilitas, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Bisnis Penerbangan.
Advertisement
Yang terpenting, operator angkutan udara di sini wajib memberikan layanan yang memudahkan akses bagi penumpang penyandang disabilitas saat naik dan turun dari pesawat. Maskapai penerbangan juga perlu melatih stafnya dengan tepat.
Mengutip Korea Times, Kamis (8/8/2024), kementerian menginspeksi 10 maskapai penerbangan dan dua operator bandara di Korea selama sebulan sejak 8 Mei 2024 untuk melihat apakah mereka telah mematuhi standar. Mereka menemukan bahwa Korean Air, Asiana Airlines, Jin Air, dan Korea Airports Corp. memenuhi standar tersebut.
Begitu pula dengan Perusahaan Bandara Internasional Incheon dan Perusahaan Bandara Korea yang mengoperasikan pusat layanan khusus bagi penumpang dengan masalah mobilitas, sekaligus mendukung pergerakan mereka di dalam bandara. Perusahaan-perusahaan tersebut dinilai aktif dalam memperluas layanan khusus di bandara untuk kenyamanan para pelancong, menurut pemeriksaan kementerian.
Maskapai Bujet Tak Penuhi Standar
Namun, maskapai bertarif rendah (LCC) yang disebutkan di atas tidak memenuhi standar tersebut. Aero K, Air Seoul dan Air Premia tidak hanya mengelola kursi prioritas secara tidak memadai tetapi juga gagal memberikan informasi keselamatan dan layanan dalam penerbangan dalam huruf braille, menurut kementerian.
Setelah sanksi dijatuhkan, maskapai-maskapai penerbangan tersebut telah memperbarui situs web mereka dengan informasi terbaru mengenai tempat duduk prioritas, mendistribusikan buku braille di dalam pesawat mereka dan segera memperbaiki praktik bisnis mereka yang tidak memadai, menurut kementerian tersebut.
"Kami yakin pemeriksaan terbaru ini menjadi peluang bagi maskapai penerbangan untuk meningkatkan layanan mereka bagi lebih banyak penumpang," kata seorang pejabat dari kementerian. "Kami akan terus memantau apakah mereka terus mematuhi standar, dan jika perlu, kami akan memperketat sanksi terhadap mereka yang melanggarnya dan peraturan penerbangan lainnya di sini."
Berdasarkan survei sebelumnya yang dilakukan kementerian, hampir sepertiga penduduk negara ini rentan terhadap transportasi pada 2021. Survei tersebut menunjukkan bahwa lebih dari 15 juta orang, dari total populasi sekitar 51 juta pada akhir 2021, mengalami kesulitan mobilitas.
Angka tersebut telah meningkat tajam selama beberapa tahun terakhir, meningkat sekitar 800.000 antara 2016 hingga 2021. Hal ini meningkatkan seruan bagi operator layanan transportasi untuk mengambil langkah-langkah yang lebih mendukung bagi mereka yang mengalami kesulitan mobilitas.
Â
Advertisement
Aturan Kursi Penumpang untuk Mereka yang Obesitas Picu Perdebatan
Masih terkait kursi penumpang pesawat, seorang kreator konten Jae'lynn Chaney menyatakan bahwa industri penerbangan perlu lebih inklusif terhadap wisatawan bertubuh gemuk. Chaney, yang juga seorang pakar perjalanan, memulai petisi pada April 2023. Ia menyerukan mandat federal yang mewajibkan semua maskapai penerbangan memiliki "kebijakan ukuran tubuh pelanggan yang komprehensif, serta memprioritaskan kenyamanan dan kesejahteraan semua penumpang."
Ia mengatakan pada CNN, dikutip Selasa, 19 Desember 2024, bahwa petisi tersebut telah mendapat sekitar tiga ribu tanda tangan baru karena video TikTok yang viral. Sekitar 40 ribu tanda tangan telah dikumpulkan pada minggu sebelumnya. Ia mengaku mendengar banyak sekali cerita tentang orang-orang "yang berhenti bepergian karena ketakutan mereka terhadap bagaimana mereka akan diperlakukan karena ukuran tubuh mereka."
"Saya masih ingin melihat kebijakan seperti kebijakan ukuran tubuh pelanggan Southwest Airlines diterapkan secara menyeluruh," kata dia, seraya menambahkan bahwa ia telah berbicara dengan tim anggota parlemen AS untuk mendorong undang-undang yang mengharuskan maskapai penerbangan memiliki kebijakan ukuran pelanggan.
Â
Kebijakan Maskapai AS untuk Penumpang Bertumbuh Gemuk
Chaney menyebut bahwa meski beberapa maskapai penerbangan mencantumkan kebijakan di situs web mereka, Alaska Airlines adalah satu-satunya maskapai penerbangan AS lain yang menawarkan kebijakan ukuran tubuh yang mendekati Southwest. Kebijakan yang dimaksud itu memungkinkan penumpang pesawat membeli kursi tambahan sebelum perjalanan dan menerima pengembalian biaya kursi tambahan setelah perjalanan selesai.
Maskapai itu mendorong penumpang membeli kursi tambahan terlebih dahulu untuk membantu pihaknya merencanakan jumlah kursi yang terisi. Juga, "memastikan kami dapat mengakomodasi semua pelanggan dan menghindari meminta pelanggan melepaskan kursi mereka untuk akomodasi yang tidak direncanakan," kata kebijakan tersebut.
Penumpang juga dapat berbicara dengan agen layanan pelanggan di gerbang keberangkatan tanpa membeli lebih banyak ruang terlebih dahulu untuk menerima tempat duduk tambahan gratis. Banyak warganet menyatakan dukungan, sementara yang lain mempertanyakan kursi kosong tersebut.
"Saya pikir Anda harus memberi kursi (pesawat) dengan biaya lebih rendah, tapi tinggi saya 6'7 (sekitar 183 cm) dan saya membayar untuk ruang kaki ekstra," tulis salah satu pengguna.
Advertisement