Liputan6.com, Jakarta - Ada banyak cara untuk memaknai perayaan HUT ke-79 RI, dan di antaranya, Anda bisa mengambil inspirasi dari tiga kreator konten pelestari budaya Indonesia. Mereka adalah Kiki Nasution, Ayuan Prawida, dan Kadek Astini.
Ketiganya punya pendekatan berbeda. Kiki, melalui akun TikTok-nya @sabda.bumi, berbagai konten, baik dalam foto maupun video, yang menyoroti nilai-nilai dan keunikan tradisi sejumlah suku pedalaman. Sedangkan, Ayuan mengambil peran mempopulerkan instrumen musik tradisional khas Dayak, Sape, melalui siaran langsung platform tersebut.
Baca Juga
Tidak ketinggalan, Kadek Astini menempuh jalan sebagai pengajar dan pemilik Sanggar Pradnya Swari yang inklusif dengan membuka kelas tari tradisional Bali untuk anak dengan disabilitas. "Kami mau memberi ruang, karena mereka (anak dengan disabilitas) juga perlu berkarya," katanya di acara virtual "#Serunya17an Bareng TikTok: Cerita Kreator Indonesia Rayakan Budaya Daerah Lewat Konten Kreatif di TikTok," Rabu, 14 Agustus 2024.
Advertisement
Dalam perjalanannya, perempuan yang akrab disapa Mbok Dek ini mengaku menemui banyak tantangan. Pertama, meyakinkan anak dengan disabilitas untuk mau belajar tari Bali. "Banyak anak tanpa lengan, teman-teman Tuli, padahal saya tidak bisa bahasa isyarat. Tapi syukur, sampai sekarang masih jalan."
"Saya komunikasikan lewat bahasa tubuh, sebisa saya," ia menyambung. Sementara itu, Kiki Nasution bercerita bahwa ia akan mendekatkan diri sebelum meminta izin mendokumentasikan narasi suku-suku yang disambanginya. "Ada beberapa situasi adat, seperti di Badui Dalam yang tidak boleh direkam, jadi kontekstual tergantung hukum adat setempat," ia mengungkap.
Â
Apresiasi Positif dari Audiens
Sejauh ini, setidaknya ada tiga titik eksplorasi Kiki, yakni Badui, Mentawai, dan Dayak Iban. Ia berbagi, "Walau semuanya berkesan, tapi bagi aku, Mentawai adalah titik balik aku melihat relevannya tradisi, serta (penerapan) nilai-nilai warisan leluhur untuk (menjaga) keseimbangan sosial dan alam."
"Itu adalah teknologi tradisional," sebut dia. "Nenek moyang kita jenius sekali. Ternyata ada alasan sebuah adat itu dibuat."
Di sisi lain, Ayuan mengatakan bahwa apresiasi penonton sangat positif selama ia menyiarkan langsung memainkan sape. "Aku bisa ngobrol real time bareng mereka dan menjangkau audiens lebih luas," ungkapnya.
Ia mengaku tertarik dengan sape karena menurutnya, masih jarang perempuan yang memainkan alat musik tersebut. Dibimbing seorang teman untuk belajar memainkan alat musik tradisional tersebut, yang kemudian dikembangkan secara autodidak, Ayuan kemudian iseng live di TikTok.
"Sebelumnya belum pernah," ucapnya. "Lewat situ juga aku mencoba membangun kepercayaan diri aku, karena sebelumnya aku bukan orang yang percaya diri untuk tampil."
Advertisement
Mengapa Diunggah di TikTok?
Ketika ditanya alasan memilih TikTok sebagai medium penyebar konten budaya, Kadek menjawab, "Berkat video pendek di TikTok, jangkauan penontonnya jadi luas sekali. Banyak warga lokal di Bali, di luar Bali, bahkan macanegara, yang jadi mau tahu budaya kita."
"Banyak orang datang ke Bali, mencari sanggar kami, yang tempatnya lumayan jauh di Bali barat. Mereka menempuh perjalanan 4--5 jam," ia bercerita. Menurut dia, komunitas TikTok terbilang positif dan apresiatif dalam mengomentari konten seputar kebudayaan, dalam konteks ini tari Bali.
"Banyak komentar yang menyatakan bahwa ada perbedaan dan kesamaan dengan budaya dan tradisi di kota asal mereka. Ada gerakan tari Bali yang artinya sama, namun penyebutannya, namanya berbeda di sana," sebutnya.
Kiki mengamini itu. Ia berkata, "(Komunitas TikTok) sangat, sangat antusias. Kaget juga, karena waktu share budaya Mentawai, misalnya, di kolom komentar, banyak yang menambahkan. Ada kemiripan antarbudaya. Jadi yang aku tangkap, semacam ada benang merah, kita ini sebenarnya sangat terhubung dalam menghormati alam dan sistem sosial."
Bagaimana Mendapat Ide Konten?
Soal ide konten, Kiki berbagi bahwa ia biasanya mengulik dari buku, jurnal, maupun artikel. "Tapi saat akhirnya ke suatu daerah, aku datang sebagai halaman kosong. Tanpa menilai apapun. Jadi bawa pulang terus proses buat bikin konten. Aku juga baca referensi dan riset yang sudah ada untuk dikembangkan."
Ketika membuat konten, ia biasanya akan datang berulang kali ke daerah tersebut. "Maka itu, prosesnya agak lama," ia menambahkan. "Bolak-balik ke sana, baru geser ke daerah lain. Prosesnya santai dan mendalam. Semakin aku belajar di sana, semakin aku merasa tidak tahu apa-apa."
Saat mulai membuat konten, menurut Kiki, penting "menemukan rasa" lebih dulu untuk bagaimana menceritakannya melalui skill yang dimiliki. "Jadi harus tahu 'why,' dan 'how' dulu. Setelah itu hanya masalah konsistensi," ujar dia.
Sedangkan, Kadek melakukan pendekatan orisinal dalam konten-kontennya. "Tanpa terlalu banyak diedit, langsung up, begitu pun banyak peminatnya," ia berbagi.
Pelestarian budaya pun digaungkan ketiganya di momen HUT ke-79 RI. "Sudah saatnya kita kembali ke akar, kembali ke rumah kita sendiri. Banyak ilmu tradisi yang sudah diarahkan leluhur, kita hanya tinggal kembali mendengarkan," tandas Kiki.
Advertisement