Liputan6.com, Jakarta - Profesi dokter, yang jadi idaman banyak orang, ternyata punya sisi gelap yang belakangan mulai terungkap. Hal ini menyusul hebohnya kasus diduga bunuh diri seorang dokter muda sekaligus peserta PPDS Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang karena aksi perundungan.
Kasus tersebut membuat sejumlah kalangan angkat bicara. Salah satunya dokter Tirta yang menyinggung anggapan bahwa dokter bergaji tinggi. Menurut dia, dokter justru profesi yang sengsara. Terlebih jika tidak jadi dokter spesialis dan tidak ditugaskan di "area strategis."
Baca Juga
"Saat itu (setelah masuk kuliah kedokteran), aku baru tahu ternyata jadi dokter kalau enggak jadi spesialis itu sengsara. Pun jadi spesialis, kalau enggak di 'lahan basah' juga sengsara, ya susah dapat duitnya," ungkap dokter Tirta saat podcast bersama Feni Rose di akun YouTube Feni Rose Official, Minggu, 18 Agustus 2024.
Advertisement
Pemilik nama lengkap Tirta Mandira Hudhi itu mengatakan, proses jadi dokter spesialis tidak mudah. Butuh perjuangan yang sangat keras, mulai dari masa kuliah yang lama, sampai harus dibayar murah saat pertama kali bekerja.
Parahnya lagi, jika tidak punya koneksi "orang dalam," perjalanan bakal semakin sulit. Dokter Tirta menyebut, di awal-awal karier, dokter akan banyak memiliki tantangan karena bisa ditugaskan di daerah yang jauh dari keluarga dan dikelilingi lingkungan tidak sehat.
"Prosesnya kaya maraton. Kuliahnya lama banget dan proses juga lama. Setelah lulus dokter umum harus internship. Setelah internship, gajinya pas-pasan dan masih harus berjuang keras lima tahun lagi untuk jadi spesialis," jelasnya.
Perjuangan Dokter Tirta
"Setelah lima tahun, kalau punya networking bagus akan kerja di lahan basah. Jadi lahan basah tuh deket keluarga, masih di Pulau Jawa. Tapi kalau ingin tantangan, bisa ke daerah tiga T yang mana sangat stressfull dan jauh dari keluarga," sambung ayah dua anak ini.
Dokter lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM) itu mencontohkan perjuangannya ketika menjalani koas (Co-ass) pada 2014 silam, tepatnya pada saat program BPJS Kesehatan di Indonesia baru diberlakukan. Saat itu, Tirta sempat mengira, perjuangannya telah selesai usai jadi dokter umum.
Ia berpikir akan dinas di puskesmas, kemudian mengambil SIP dan berharap mendapat gaji sekitar Rp30-40 juta. Namun, faktanya justru berbeda. "Itu sudah kaos banget, antrean BPJS panjang. Jadi saat itu, aku melihat uncertain, wah pusing banget soalnya jauh dari ekspektasi," terangnya.
Saat itu, ia mengaku hanya menerima upah shift jaga sekitar Rp100--Rp150 ribu per hari. Pria berusia 33 tahun ini merasa bahwa profesi dokter kerap mendapat upah yang tidak sebanding dengan perjuangan mereka.
Advertisement
Kebijakan Rumah Sakit
Di sisi lain, masyarakat dan sejumlah pihak menilai bahwa profesi dokter adalah sebuah pengabdian yang semestinya dilakukan dengan ikhlas. "Ketika kita komplain soal uang, masyarakat bilang, kan ini pengabdian, tapi kan aku butuh duit buat makan,” ujarnya.
Dokter Tirta menyimpulkan, profesi guru dan dokter di Indonesia memang kerap dianggap harus dibayar murah. Kendati, menurutnya, yang menentukan harga layanan kesehatan murah atau mahal adalah kebijakan rumah sakit, bukan dokter.
Belum lama ini, seorang mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) dr Aulia Risma Lestari diduga bunuh diri akibat perundungan dari seniornya. Kabar tersebut tersebar melalui akun X, dulunya Twitter, @bambangsuling11, yang menyebut bahwa Aulia mengakhiri hidup dengan menyuntikkan obat ke tubuhnya.
"Dokter muda RSUD Kardinah Tegal meninggal bundir dengan cara suntikkan obat ke tubuh. Diduga tak kuat menahan bully selama ikut PPDS Anestesi Undip Semarang. Mohon bantuan RT-nya karena ada indikasi kasus ini ditutupi dengan menyebut korban sakit saraf kejepit," tulisnya, seperti dikutip dari kamal News Liputan6.com pada Kamis, 15 Agustus 2024.
Kemenkes Selidiki Kasus Mahasiswi Diduga Bunuh Diri
Kasus ini telah mendapat perhatian dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Dalam surat nomor TK.02.02/D/44137/2024, Kemenkes RI meminta penghentian sementara Program Anestesi Universitas Diponegoro di RSUP Dr Kariadi. Surat ditandatangani Dirjen Pelayanan Kesehatan Kemenkes Azhar Jaya pada Rabu 14 Agustus 2024.
Terkait kasus ini, Juru Bicara Kemenkes Mohammad Syahril pun angkat bicara. Menurutnya, pembinaan dan pengawasan PPDS ada pada Pendidikan Dokter Spesialis FK Undip, bukan RS Kariadi sebagai unit dari Kemenkes. Walau demikian, pihaknya mengaku bergerak cepat dan tegas untuk menginvestigasi kejadian ini.
"Tim Itjen Kemenkes sudah turun ke RS Kariadi untuk menginvestigasi pemicu bundir untuk memastikan apakah ini ada unsur bullying atau tidak. Mudah-mudahan dalam seminggu sudah ada hasilnya," kata Syahril dalam keterangan tertulis pada kanal Health Liputan6.com, Kamis 15 Agustus 2024.
"Walau PPDS ini program Undip, Kemenkes tidak bisa lepas tangan karena yang bersangkutan juga melakukan pendidikannya di lingkungan RS Kariadi sebagai UPT Kemenkes," pungkasnya.
KONTAK BANTUAN
Bunuh diri bukan jawaban apalagi solusi dari semua permasalahan hidup yang seringkali menghimpit. Bila Anda, teman, saudara, atau keluarga yang Anda kenal sedang mengalami masa sulit, dilanda depresi dan merasakan dorongan untuk bunuh diri, sangat disarankan menghubungi dokter kesehatan jiwa di fasilitas kesehatan (Puskesmas atau Rumah Sakit) terdekat.
Bisa juga mengunduh aplikasi Sahabatku: https://play.google.com/store/apps/details?id=com.tldigital.sahabatku
Atau hubungi Call Center 24 jam Halo Kemenkes 1500-567 yang melayani berbagai pengaduan, permintaan, dan saran masyarakat.
Anda juga bisa mengirim pesan singkat ke 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat surat elektronik (surel) kontak@kemkes.go.id.
Advertisement