Liputan6.com, Jakarta - Chattra pada stupa induk atau stupa tertinggi di Candi Borobudur kabarnya akan diresmikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 18 September 2024. Namun Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) menolak pemasangan chattra atau payung di puncak Candi Borobudur.
Dalam beberapa hari terakhir tagar Pray for Borobudur bahkan menggema di media sosial X atau yang dulunya Twitter. Banyak pihak yang menolak rencana pemasangan Chattra pada stupa induk Candi Borobudur dengan berbagai alasan.
Tagar bahkan ikut dilengkapi dengan ilustrasi pita hitam yang membalut stupa Candi Borobudur. "Para arkeolog menolak pemasangan ini karena memang tdk ada Chattra dipuncak Borobudur dan jika hal tsb dilakukan maka Borobudur berpotensi akan kehilangan gelar Warisan Dunia dan dicabut oleh UNESCO karena tdk sesuai dg kaidah arkeologi," tulis Peneliti dan Arkeolog dari BRIN, Harry Sofian di akun X @harrysofian pada 8 September 2024.
Advertisement
Terkait hal itu Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menarekraf) Sandiaga Uno mengatakan bahwa Borobudur merupakan salah satu destinasi super prioritas yang juga memiliki aspek spiritual. "Harapannya 42 persen umat Buddha yang ada di Asia Tenggara bisa berkunjung ke Borobudur untuk beribadah," kata Sandi, ditemui Liputan6.com di Gedung Kemenparekraf saat acara Hari Radio Nasional pada Rabu (11/9/2024).
Ia pun menilai bahwa aspirasi para arkeologi perlu didengar, termasuk para pemuka agama untuk mengawal pro kontra pemasangan chattra di puncak Candi Borobudur. "Semua harus didengar arkeolog maupun tokoh agama semua harus kita pastikan pariwisata yang berkelanjutan," kata Sandi sambil mengatakan bahwa Borobudur sebagai situs arkeolog tertua harus dipastikan sesuai dengan aturan tentang situs bersejarah yang dilindungi oleh UNESCO.
Awal Mula Polemik Pemasangan Chattra di Stupa Induk Borobudur
Dalam cuitannya, arkeolog Harry Sofian mengungkap bahwa polemik pemasangan chattra pada stupa induk Candi Borobudur baru ia ketahui setelah beberapa teman berbicara hal ini di WAG komunitas budaya. "Sekali lagi arogansi pemerintah dlm hal ini Kementerian Agama Bimas Buddha yg akan meresmikan pemasangan Chattra (mahkota) yg ditentang Balai Konservasi Borobudur," serunya.
Harry melanjut, "Aneh menurut saya dimana Kementerian Agama "lompat pagar" ke ranah arkeologi yg dilakukan oleh Balai Konservasi Borobudur (Kemendikbud). Borobudur adalah dead monumen, candi tsb sdh ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya, tdk berfungsi dlm sosio-kultural masyarakat saat ini."
Menurut Harry, kejadian arogansi pemerintah dahulu jangan sampai diulangi lagi saat pemugaran yang serampangan di Candi Cetho yang tidak sesuai kaidah arkeologis. Karena sudah ada lembaga arkeologi yang mengurusi masalah arkeologi jangan dicampuradukan oleh lembaga lain.
Ia menegaskan bahwa Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI), akademisi arkeologi, komunitas-komunitas pelestarian budaya telah bersuara untuk sama-sama menolak pemasangan Chattra Borobudur. Menurutnya akibat penolakan dari IAAI, rencana pemasangan Chattra Borobudur yang semula akan terlaksana pada 18 September 2024, diundur untuk batas waktu yang belum ditentukan.
Advertisement
Arkeolog Berusaha Menjaga Keaslian Candi Borobudur
Sebelumnya diberitakan Balai Konservasi Borobudur yang dilansir dari laman Kemdikbud, Selasa, 10 September 2024, Pamong Budaya Ahli Muda Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tentang polemik pemasangan chattra pada stupa induk Candi Borobudur.
"Perlu dorongan kebijakan politis yang dapat diterima oleh semua karena para arkeolog berusaha menjaga keaslian Candi Borobudur sementara kita juga berusaha mendengarkan aspirasi dari umat Buddha," ungkap Anton seusai Rapat Koordinasi Akselerasi Pemasangan Chattra Stupa Induk Candi Borobudur di Grand Artos Hotel & Convention Magelang, Jumat, 9 Agutus 2024.
Anton menjelaskan, karena ada perbedaan-perbedaan yang muncul dalam rencana pemasangan chattra, dibutuhkan suatu keputusan politis sehingga nantinya dapat diterima semua pihak dan tidak akan ada salah satu pihak yang disalahkan masyarakat. "Kita membutuhkan hitam di atas putih bahwa ada perintah ataupun arahan yang meminta pada Kemendikbudristek untuk mendampingi pemasangan chattra," kata dia.
Perlu Dikaji Ulang
Pemasangan chattra Candi Borobudur, menurut dia, harus bersifat reversible. Artinya, dapat dikembalikan ke kondisi semula dan tidak merusak struktur stupa induk yang ada saat ini. Hal ini untuk mengantisipasi adanya perkembangan ilmu pengetahuan baru terkait chattra.
Direktur Kebijakan Pembangunan Manusia, Kependudukan, dan Kebudayaan Badan Riset dan Inovasi Nasional, Anugerah Widiyanto mengatakan, tim khusus yang dibentuk untuk mengkaji pemasangan chattra memutuskan tidak menggunakan chattra hasil rekonstruksi insyinur Belanda, Theodoor van Erp, yang memimpin pemugaran pertama Candi Borobudur tahun 1907–1911.
"Mereka akan menawarkan beberapa model sesuai kebutuhan umat Buddha sehingga kita tidak akan memasang semua batu yang telah disusun van Erp, hanya batu-batu asli saja yang nantinya akan kami pasang," sebut Anugerah.
Pemasangan chattra oleh van Erp diduga terinspirasi Relief Gandawyuha di lorong dua Candi Borobudur. Relief itu merupakan teks keagamaan yang merepresentasikan puncak spiritual seorang peziarah dalam mempelajari pengetahuan tertinggi. Relief tersebut dipahatkan pada dinding dan pagar langkan Candi Borobudur.
Advertisement