Liputan6.com, Jakarta - Ada berbagai cara kreatif untuk menanggulangi masalah sampah yang makin menumpuk di Indonesia. Salah satu contohnya dengan mendaur ulang atau mengolah sumpit dan tusuk satai sekali pakai seperti yang dilakukan oleh Boolet.
Boolet, merupakan salah satu gerakan dalam bentuk usaha yang berupaya menyelesaikan permasalahan sampah di Indonesia, dengan membangun ekosistem ekonomi sirkular. Hadir sejak 2021, pihak Boolet berangkat dari mengolah sumpit dan tusuk satai atau tusuk sate sekali pakai menjadi berbagai macam benda. Mereka bekerja sama dengan berbagai Bank Sampah dan waste management untuk pengumpulan sumpit serta tusuk sate.
Hasilnya, berbagai macam benda bisa dibuat dari sampah sumpit dan tusuk sate seperti meja, gelas sampai kotak tisu. Baru- baru ini Boolet membuat meja untuk restoran Tesate di Plaza Senayan, Jakarta Pusat. Hal itu diketahui dari unggahan di akun Instagram resmi mereka, @boolegt.id pada16 Januari 2025.
Advertisement
Dalam unggahan itu Boolet membuat meja dari sekitar 650 ribu sumpit bekas yang diolah melalui berbagai proses. Menuurut Cindy Susanto selaku founder Boolet, olahan limbah sumpit dan tusuk sate mereka proses menjadi panel sebagai bahan baku pengganti kayu dalam membuat meja restoran.
"Proses awalnya adalah sterilisasi Cuci air dan tawas, masuk oven untuk membunuh bakteri di sumpit atau tusuk sate. Lalu langkah terakhir dimasukkan ke UV Room dan di press," ungkap Cindy Susanto pada tim Lifestyle Liputan6.com, Minggu, 26 Januari 2025.
Â
Benda-Benda Olahan Sumpit Sekali Pakai
"Kita khusus mengolah sumpit dan tusuk sate, bisa juga item-item serupa seperti stik es krim juga kita terima. Kita berdiri dari tahun 2021, jadi ada beberapa grup usaha F&B yang tahu soal opsi pengolahan ini, seperti Hokben dan Sarirasa Group," sambungnya.
Untuk benda-benda olahan mereka bukan hanya meja tapi juga beragam furnitur llainnya, suvenir dan plakat. Ini menjadi cara kreatif mereka untuk mengelola limbah atau sampah di neger ini.
Belum lama ini, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta mewajibkan hotel, restoran, dan kafe (horeka) untuk mengurangi dan mengolah sampah makanan secara mandiri tanpa mengirimkannya ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang. Kebijakan ini merupakan langkah strategis untuk menanggulangi permasalahan sampah kota, khususnya sampah makanan yang menyumbang lebih dari 50 persen dari total sampah kota.
"Jika kita dapat mengelola food waste dengan baik, maka setengah dari permasalahan pengelolaan sampah kota dapat terselesaikan," ujar Kepala DLH DKI Jakarta, Asep Kuswanto di Jakarta, Selasa, 26 November 2024, dilansir dari Antara.
Advertisement
Pengelolaan Sampah di Hotel, Restoran, dan Kafe
Kebijakan itu merujuk Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 102/2021 sebagai dasar hukum yang jelas untuk memastikan pengelolaan sampah di hotel, restoran, dan kafe dilakukan dari sumbernya. Asep juga mendukung kebijakan Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq yang menargetkan penurunan signifikan sampah organik di Jakarta.
DLH mendorong pelaku usaha horeka untuk menggunakan berbagai teknologi dalam mengelola sampah organik, seperti biokonversi dengan maggot Black Soldier Fly (BSF), komposting, lubang biopori, dan metode ramah lingkungan lainnya yang sesuai. Pendekatan ini tidak hanya mengurangi volume sampah ke TPA, tetapi juga menciptakan nilai ekonomi dari sampah makanan.
Terlebih, pelaku usaha hotel, restoran, dan kafe tidak harus mengelola langsung sampah organik mereka, tetapi bisa menggunakan jasa perusahaan pengolah sampah atau bermitra dengan pengelola sampah profesional. Dengan demikian, ekonomi sirkular bisa berjalan.
Wakil Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Sarjoko menyampaikan bahwa pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan ini akan dilakukan secara ketat. "Kami telah mengintegrasikan sistem pendataan pengangkutan sampah horeka untuk memastikan kepatuhan. Seluruh sampah yang diangkut dari horeka akan tercatat dan dipantau," katanya.
Pelanggaran Terhadap Kebijakan Pengelolaan Sampah
Pelanggaran terhadap kebijakan pengelolaan sampah ini akan dikenai sanksi. Sarjoko menyebut bentuk sanksinya mulai dari teguran tertulis hingga denda administratif yang bertujuan mendorong pelaku horeka agar segera beradaptasi dengan kebijakan ini.
Namun, berdasarkan penelusuran Tim Lifestyle Liputan6.com, dalam Pergub yang jadi rujukan, ketentuan sanksi bagi pengelola kawasan atau pemilik usaha hanya diatur di Pasal 2. Bunyinya menyebutkan bahwa sanksinya adalah teguran tertulis yang dilakukan secara bertahap, yaitu:
a. teguran tertulis pertama selama 14 x 24 jam terhitung sejak diterimanya teguran tertulis pertama dan apabila tidak ditaati, maka diberikan teguran tertulis kedua;
b. teguran tertulis kedua selama 7 x 24 jam terhitung sejak diterimanya teguran tertulis kedua dan apabila tidak ditaati, maka diberikan teguran tertulis ketiga; dan
c. teguran tertulis ketiga selama 3 x 24 jam terhitung sejak diterimanya teguran tertulis ketiga.
Bila sampai ketiga teguran tertulis diabaikan, Dinas Linglcungan Hidup mempublikasikannya pada situs yang dikelola oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan kategori sebagai kawasan atau Perusahaan yang berpotensi mencemarkan lingkungan.
Â
Advertisement