Liputan6.com, Jakarta - Nyaris tak ada jejak tersisa dari tragedi memilukan yang terjadi di TPA Leuwigajah, pada 21 Februari 2005. Saksi bisu tragedi lingkungan terbesar di Indonesia yang memicu lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah kini sudah berganti jadi bukit hijau. Sementara, lahan lokasi Desa Cilimus yang hilang tertimbun sampah kini ditanami ribuan pohon pisang.
Meski begitu, kenangan pedih itu tetap melekat dalam ingatan Triyana Santika, warga Desa Cireundeu, Kelurahan Leuwigajah, Kota Cimahi. Saat ledakan terjadi di TPA Leuwigajah, Tri dan keluarganya sedang tertidur lelap di rumahnya. Tak heran mengingat insiden itu terjadi pada dini hari, sekitar pukul 2 pagi.
Advertisement
"Kalau ngomongin itu mah pasti gimana ya, rasanya tuh sedih aja gitu. Sampai hari ini, padahal udah 20 tahun ke belakang," ujarnya saat berbincang dengan Lifestyle Liputan6.com di Leuwigajah, Cimahi, Sabtu, 22 Februari 2025.
Advertisement
Keluarganya terbangun karena ketukan pintu. Bapaknya saat itu diberitahu bahwa terjadi longsoran gunung sampah di TPA yang saat itu menampung beban sampah se-Bandung Raya. "Keinget itu sama paman karena kebetulan ada kerabat paman di sana," ujarnya.
Ia dan bapaknya memutuskan mendatangi lokasi kejadian. Subuh hari yang gelap menyulitkan perjalanan, belum lagi akses jalan menuju desa tempat banyak kerabat dari ayahnya berada tertutup oleh longsoran sampah. Karena berisiko, ia dan bapaknya memutuskan kembali ke rumah untuk balik mencari jalan menuju tempat tragedi.
"Kebetulan pagi-pagi itu sama kakak ngeriling (berputar) lewat ke belakang, ke Batujajar ke sana. Pas ke sana, pas kebetulan ada yang dievakuasi," kata Triyana lagi.
Bayangan Korban Longsoran Sampah TPA Leuwigajah
Triyana melihat korban pertama longsoran sampah TPA Leuwigajah yang dilihatnya adalah satu keluarga terdiri dari bapak, ibu, dan anak mereka yang masih bayi. Proses evakuasi dilakukan melalui genteng rumah karena itu akses yang paling memungkinkan. Kenangan evakuasi pertama itu hingga kini masih membuatnya bergidik.
"Berdiri (bulu kuduk). Terus udah. Kita pulang, saking enggak kuatnya gitu," ujarnya.
Menurut Triyana, ada puluhan kerabat dari ayahnya yang menjadi korban longsoran sampah. Bahkan, 11 warga Desa Cilimus tak ditemukan karena proses evakuasi sudah berjalan terlalu lama dan diyakini jasadnya sudah tak mudah lagi dikenali. Oleh warga, para korban kemudian disholat gaib sebagai simbol melepas mereka dengan ikhlas.
Total, 157 orang dinyatakan meninggal dunia karena longsoran sampah Leuwigajah. Setelah tragedi itu, Desa Cilimus tinggal nama. Semua warganya diungsikan ke wilayah lain yang menurut Triyana ada yang pindah ke Batujajar dan Cihapit. Lahan yang ditinggalkan kemudian ditanami warga dengan pisang, meski tak jelas pula pengelola di lapangannya.
"Kepemilikannya katanya sih ada yang Kota Bandung, ada yang Kota Cimahi, ada yang Kabupaten Bandung Barat, ada juga yang punya provinsi. Jadi, ada empat instansi pemerintah yang punya," ujarnya lagi.
Advertisement
Kesadaran Warga Sekitar Terkait Pengelolaan Sampah
Walau tragedi itu membuat trauma pada Triyana dan warga Desa Cireundeu yang berada dekat lokasi kejadian, tidak serta perilaku mereka dalam mengelola sampah berubah. Baru sekitar dua tahun ini, menurut Triyana, warga dengan sadar memilah sampah rumah tangganya secara mandiri setelah dibina oleh mahasiswa yang melakukan KKN.
"Kita sudah bisa mengurangi pembuangan (sampah) ke TPA Sarimukti. Sekarang warga masyarakat, kurang lebih 180 rumah, di Kampung Cireundeu ini sudah dipilah... dipilhan mana sampah makanan, mana sampah daur ulang, mana sampah residunya gitu," katanya.
Di sisi lain, kesadaran masyarakat Indonesia atas pengelolaan sampah yang bertanggung jawab ternyata masih minim. Tragedi Leuwigajah yang ditetapkan sebagai Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) itu belum mampu menggerakkan masyarakat untuk memilah sampah dari rumah masing-masing.
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurrofiq saat berpidato membuka gerakan nasional bersih sampah di pasar rakyat menunjukkan buktinya dengan menyebut 343 TPA di berbagai daerah masih mempraktikkan open dumping. Padahal, sistem tersebut terbukti membahayakan dengan terjadinya tragedi Leuwigajah.
"Sistem ini telah menenggelamkan dua desa di Cimahi, memantik emosi seluruh pejabat di tingkat pusat sehingga melahirkan UU 18 Tahun 2008, dari sebelumnya tidak ada yang diberi mandat dan dimintai tanggung jawab terkait pengelolaan sampah," katanya.
Potensi Bahaya di Bekas Lokasi TPA Leuwigajah
Merujuk UU tersebut, MenLH kembali mengingatkan bahwa tanggung jawab pengelolaan sampah kini berada di bahu para kepala daerah, khususnya bupati dan wali kota. Begitu pula dengan bekas lokasi TPA Leuwigajah yang kini menghijau.
Hanif mengingatkan ada bahaya dari tanah tersebut lantaran sampah plastik ikut tertimbun di bawahnya. Sampah plastik yang tidak bisa terurai dikhawatirkan akan masuk ke dalam sistem rantai makanan karena menjadi mikroplastik.
"Sampah plastik ini mencapai 13 persen dari timbulan sampah tahunan nasional. Tidak kurang dari 56,5 juta ton sampah dihasilkan di Indonesia... Pada akhirnya, sampah plastik tidak dapat terurai dan butuh ratusan tahun sehingga plastik bisa membahayakan, meracuni air tanah," katanya.
"Meski telah tertimbun 20 tahun lalu, tapi perlu kehati-hatian pemda," katanya.
Pemkot Cimahi mengungkapkan rencana ke depan mengelola kawasan bekas TPA Leuwigajah. "Kemarin pada tanggal 21 Februari 2025, atas nama Pemerintah Kota Cimahi, kami mencanangkan bahwa Desa Cireundeu, Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi adalah sebagai wilayah konservasi adat budaya dan lingkungan," katanya.
Di salah satu sudut bukit dekat bekas lokasi TPA Leuwigajah, MenLH, Wakil Wali Kota Cimahi Adhitya Yudhistira, dan jajarannya menanam bibit pohon bambu betung. Itu menjadi awal untuk mengembalikan Leuwigajah sebagai hutan bambu di masa depan.
Advertisement
