Liputan6.com, Jakarta - Di tengah keheningan gletser putih dan batu menjulang, Milan Pandey, seorang pilot drone dari Airlift Technology, duduk santai di Everest Base Camp. Kehadirannya di sana bukanlah untuk mendaki, melainkan untuk mengoperasikan drone yang dapat mengangkut tangga, tali, dan tabung oksigen.
Gunung Everest, puncak tertinggi di dunia, menjadi saksi dari kemajuan teknologi yang menjanjikan untuk mengubah cara pendakian dilakukan. Kini drone mulai digunakan untuk mengirimkan perbekalan di ketinggian ekstrem, yang mengubah dunia pendakian selamanya.
Mengutip dari CNN, Senin (21/4/2025), inisiatif ini tidak hanya menawarkan efisiensi yang lebih tinggi, tetapi juga menjanjikan peningkatan keselamatan bagi para Sherpa. Mereka selama ini mempertaruhkan nyawa di medan berbahaya Gunung Everest.
Advertisement
Inovasi ini bertujuan untuk membantu para Sherpa atau dokter es di Khumbu Icefall, area berbahaya yang terletak antara Base Camp dan Camp One. Para Sherpa, yang telah menjadi tulang punggung pendakian Everest selama tujuh dekade, sering kali menghadapi risiko besar.
Puluhan jiwa telah hilang dalam proses penyiapan jalur bagi para pendaki. Dengan memanfaatkan drone, risiko ini dapat diminimalisir. Pandey dan timnya percaya bahwa kombinasi keahlian teknis mereka dengan pengetahuan mendalam para Sherpa tentang pendakian dapat membuat Everest menjadi tempat yang lebih aman.Â
Base Camp berada pada ketinggian sekitar 5.364 meter di atas permukaan laut, sementara Camp One terletak pada ketinggian 6.065 meter. Jarak udara antara kedua titik ini sekitar 1,8 mil.
Â
Efisiensi dan Kecepatan
Bagi para Sherpa, perjalanan ini memakan waktu enam hingga tujuh jam, namun drone hanya memerlukan enam hingga tujuh menit. Kecepatan dan efisiensi ini dapat mengurangi beban fisik dan risiko bagi para pendaki dan Sherpa.
Mingma G Sherpa dari Imagine Nepal, sebuah perusahaan ekspedisi, merasakan perlunya inovasi ini setelah kehilangan tiga teman dan pemandu gunung dalam longsoran salju pada 2023. Kehilangan tersebut mendorongnya untuk mencari solusi yang lebih aman.
Pada saat yang sama, Raj Bikram, CEO Airlift Nepal, bekerja sama dengan pemerintah setempat untuk memetakan Gunung Everest secara 3D menggunakan drone. Pada April 2024, dengan bantuan dua drone yang disumbangkan oleh DJI Tiongkok, eksperimen dimulai.
Awalnya, tim menghadapi tantangan besar terkait kinerja drone di ketinggian dan suhu ekstrem. Jarak pandang yang terbatas dan kecepatan angin menjadi hambatan utama.
Namun, setelah satu bulan mempelajari medan, mereka berhasil melakukan kegiatan bersih-bersih pertama dengan mengangkut sekitar 1.100 pon sampah dari Camp One ke Base Camp. Proses ini memerlukan lebih dari 40 penerbangan, dengan setiap drone membawa beban sekitar 44 pon atau hampir 20 kg untuk memastikan keselamatan.Â
Advertisement
Masa Depan Pendakian Everest
Untuk musim pendakian Everest 2025, Airlift Technology berencana untuk membantu Sherpa mengangkut peralatan sebelum musim dimulai dan mengambil sampah setelahnya. Dengan bantuan drone, para Sherpa dapat mengidentifikasi titik-titik kritis di jalur pendakian dan mengirimkan koordinat kepada Pandey, yang kemudian menerbangkan peralatan yang diperlukan ke lokasi tersebut.
Saat ini, Airlift memiliki dua drone DJI, dengan satu berfungsi sebagai cadangan. Tantangan utama yang dihadapi adalah biaya operasional yang tinggi, dengan harga setiap drone mencapai 70.000 USD atau setara Rp1,1 miliar. Selain itu, kebutuhan akan bahan bakar untuk mengisi baterai dan biaya logistik di Base Camp menambah beban finansial.
Bagi Raj Bikram dan timnya, drone bukan sekadar alat, tetapi juga harapan untuk masa depan yang lebih aman bagi para Sherpa. Sebagian dari komunitas Sherpa telah meninggalkan pekerjaan berbahaya ini demi mencari penghidupan yang lebih baik di luar negeri.
Pandey mengungkapkan, "Kami berharap drone kami benar-benar akan menjadikan ini profesi yang lebih aman dan membawa lebih banyak orang kembali ke tradisi pendakian ini. Itulah yang membuat negara kami terkenal, dan tanpa keahlian para Sherpa, kami tidak akan pernah mampu menjelajahi medan ini,"
Dengan adanya teknologi drone, diharapkan profesi ini menjadi lebih aman. Ini juga akan menarik lebih banyak orang untuk kembali ke tradisi pendakian yang telah lama menjadi kebanggaan Nepal.Â
Â
Kisah Sherpa yang Menavigasi Pendaki
Dawa Janzu Sherpa yang berusia 28 tahun telah menjadi "pemimpin" di Everest selama delapan tahun. Tim Sherpa dipimpin oleh seorang tetua yang telah mengembangkan keahliannya dalam navigasi dan menentukan jalur.
"Musim ini terdapat banyak es kering yang membuat jalur menjadi sangat sulit diperbaiki, dan terdapat banyak menara es di antaranya," katanya.
Meskipun drone kini dapat digunakan untuk menentukan jalur sementara sebelum berangkat, cuaca buruk berarti bahwa segala sesuatunya terus berubah. Jawaban Janzu Sherpa adalah bahwa ini adalah pekerjaan yang berisiko, dan dengan pekerjaan yang sulit didapat, baginya, pekerjaan ini lebih tentang gaji daripada hasrat.
Drone telah mengurangi waktu dan tingkat risiko hingga setengahnya. Ia mengatakan, "Pekerjaan kami terbatas waktu. Jika kami tidak segera memperbaiki jalur pendakian, ekspedisi mendatang akan melambat. Jadi, dengan adanya drone yang membawa peralatan, kami tidak perlu kembali turun hanya untuk membawa tangga."
"Dengan cuaca buruk yang kami alami tahun ini, kami tidak akan dapat memperbaiki jalur pendakian tepat waktu jika bukan karena bantuan itu," tambahnya.
Janzu Sherpa adalah satu-satunya pencari nafkah bagi istri dan kedua putrinya. "Ini adalah pekerjaan yang penuh petualangan dan berisiko tinggi. Jadi, jika ada cara untuk membuatnya lebih aman, saya akan menyambutnya."
Advertisement
