JK: Konferensi Internasional di Tanah Air Disetujui Mega dan SBY

Mantan Wapres Jusuf Kalla menjadi saksi meringankan bagi terdakwa mantan Sekretaris Jenderal Kemenlu Sudjadnan Parnohadiningrat.

oleh Oscar Ferri diperbarui 04 Jun 2014, 13:30 WIB
Diterbitkan 04 Jun 2014, 13:30 WIB
Wapres Jusuf Kalla menyapa masyarakat dari kendaraanya usai meresmikan pelabuhan pendaratan ikan Dufa Dufa, Ternate, Maluku Utara, Senin (29/6). (Antara)

Liputan6.com, Jakarta - Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla menjadi saksi meringankan bagi terdakwa mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Luar Negeri Sudjadnan Parnohadiningrat dalam kasus dugaan korupsi pelaksanaan kegiatan pertemuan dan sidang internasional di Departemen Luar Negeri (sekarang Kementerian Luar Negeri) selama 2004-2005.

JK mengaku, di awal 2004 masih menjabat Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra), saat itu Presiden Megawati Soekarnoputri menyetujui agar diadakan konferensi internasional terkait dengan turunnya kepercayaan dunia terhadap Indonesia berhubungan dengan peristiwa Bom Bali I tahun 2002.

Bahkan, lanjut JK, konferensi itu dipindahkan ke Bali, dengan maksud menaikkan kembali kepercayaan dunia terhadap Pulau Dewata itu.

"Jadi ini suatu keputusan darurat di bawah persetujuan Bu Megawati. Sehingga kita memberikan perintah agar semua konferensi internasional dipindahkan ke Bali, supaya Bali dikenal di luar negeri tetap aman," ujar JK saat bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Rabu (4/6/2014).

JK menjelaskan soal konferensi internasional terkait peristiwa Bom Bali I. Menurut JK, saat itu kunjungan turis ke Bali merosot drastis. Jika sebelumnya setiap hari ada sekitar 5.500 turis asing datang ke Bali, maka setelah peristiwa itu turun menjadi hanya 1.000 turis asing per hari.

JK menjelaskan, langkah pertama yang dilakukan pemerintah Indonesia adalah mengamankan Bali agar tetap menjadi tujuan destinasi yang menarik bagi para turis asing. Langkah kedua, adalah mendorong turis dalam negeri untuk liburan ke Bali.

"Ketiga, supaya luar negeri percaya Bali tidak rusak, konferensi-konferensi dipindahkan ke Bali dan mengundang konferensi luar negeri ke Bali," kata JK.

JK juga menerangkan, berapa banyak konferensi itu harus dilakukan pemerintah. Mengingat, itu adalah perintah langsung Megawati. "Itu perintah. Jadi sebanyak-banyaknya. Kalau perlu tiap minggu. Buktinya orang perkirakan wisata Bali normal 2 tahun tapi dapat kembali normal dalam waktu 6 bulan," ucap JK.

Pun demikian dengan pelaksanaan kegiatan konferensi internasional terkait dengan bencana tsunami Aceh pada akhir 2004. Saat itu, JK sudah menjabat sebagai Wakil Presiden pendamping Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

"2004 akhir sampai 2009 saya sebagai Wakil Presiden. (Tsunami) Itu kasus Aceh. Karena pemerintah tidak mampu mengatasi segera maka diadakan konferensi dengan PBB, memindahkan sidang PBB dari New York (AS) ke Jakarta," ujar JK.

JK menambahkan, konferensi internasional terkait tsunami juga dilakukan atas instruksi Presiden SBY dan bekerja dalam tekanan darurat. Pun begitu dengan dana kegiatan tersebut juga darurat.

"Pelaksanaan hanya butuh 8 hari. Maka semua bekerja dengan full darurat. Jadi dananya juga darurat. Presiden SBY, saya, dan Ketua Bakornas hanya beri waktu kepada Deplu untuk adakan 8 hari," ujarnya.

Kegiatan itu, kata JK, bisa dikatakan berjalan sangat sukses. Sebab, Indonesia dapat mengumpulkan dana besar untuk pemulihan Aceh pasca-tsunami. "Sangat berhasil dan kita berhasil kumpulkan dana untuk Aceh US$ 5 miliar," ujarnya.

Mantan Sekretaris Jenderal Departemen Luar Negeri (sekarang Kementerian Luar Negeri), Sudjadnan Parnohadiningrat didakwa melakukan tindak pidana korupsi sebesar Rp 4,570 miliar dalam pelaksanaan kegiatan 12 pertemuan dan sidang internasional oleh Deplu selama 2004-2005.

Dalam dakwaan disebut rinci, bahwa dari uang Rp 4,570 miliar itu, sebesar Rp 300 juta diambil untuk kepentingan Sudjadnan sendiri. Sisanya, Sudjadnan memberikan untuk memperkaya orang lain, di antaranya Kepala Biro Keuangan Deplu Warsita Eka sebesar Rp 15 juta, Kepala Bagian Pelaksana Anggaran Sekjen Deplu I Gusti Putu Adnyana Rp 165 juta, Kepala Bagian Pengendali Anggaran Sekjen Deplu Suwartini Wirta sebesar Rp 165 juta, dan Sekretariat Jenderal Deplu Rp 110 juta.

Tak cuma itu, dalam dakwaan disebut juga nama anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Susilo Bambang Yudhoyono, Hassan Wirajuda ikut kecipratan hasil dugaan korupsi yang dilakukan Sudjadnan. Hassan yang saat kasus itu terjadi masih menjabat Menteri Luar Negeri kebagian dana sebesar Rp 440 juta dari Sudjadnan.

Atas perbuatannya itu, Sudjadnan didakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP. Berdasar ketentuan pasal tersebut, Sudjadnan terancam hukuman pidana seumur hidup atau maksimal 20 tahun penjara. (Ans)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya