Merespons Kebijakan Tarif Resiprokal AS dengan Kebijakan Kemandirian 5 Sektor Strategis

Dalam menghadapi kebijakan tarif timbal balik yang ditetapkan oleh AS, Indonesia tidak hanya perlu mengambil langkah reaktif, tetapi juga harus mempersiapkan strategi jangka panjang untuk memperkuat kemandirian nasional

oleh Muhamad Ridlo Diperbarui 08 Apr 2025, 15:23 WIB
Diterbitkan 08 Apr 2025, 15:15 WIB
UMKM Diajak Manfaatkan Fasilitas GSP Ekspor Produk ke AS
Pekerja membuat mebel di kawasan Tangerang, Selasa (3/11/2020). Generalized System of Preference (GSP) atau fasilitas perdagangan berupa pembebasan tarif bea masuk memungkinkan produk UMKM lebih banyak diekspor ke Amerika Serikat. (Liputan6.com/Angga Yuniar)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum Jaringan Kemandirian Nasional (JAMAN), A Iwan Dwi Laksono, SE, menegaskan bahwa pengenaan tarif resiprokal bukan hanya masalah diplomatik, tetapi juga memerlukan langkah-langkah struktural untuk memperkuat fondasi ekonomi nasional.

Iwan menggarisbawahi urgensi penguatan kemandirian di lima sektor strategis sebagai respons terhadap tantangan kebijakan luar negeri yang kian kompleks.

Iwan menekankan pentingnya penguatan perekonomian berbasis komunitas. “Kembali melirik desa dan warga desa sebagai subjek ekonomi sangat penting. Kita perlu memperkuat kembali keunggulan komparatif yang dimiliki setiap daerah untuk menciptakan produk lokal yang berkualitas,” ujarnya, dikutip dari keterangan tertulis, Selasa (8/4/2025). 

“Saat ini, kemandirian pangan dan energi menjadi lebih penting daripada sebelumnya. Ini bukan hanya untuk mengurangi ketergantungan pada impor, tetapi juga untuk memperkuat daya saing Indonesia di pasar global,” tambahnya.

Dalam pandangannya, sektor maritim dan iptek juga diharapkan dapat berperan dalam menciptakan inovasi dan teknologi yang mendukung kedaulatan nasional.

Iwan juga menyoroti pentingnya diplomasi perdagangan yang baik dengan AS, tetapi menegaskan bahwa Indonesia tidak boleh dijadikan tempat pembuangan barang-barang yang tidak laku di pasar internasional. “Kita harus menjaga kepentingan nasional,” tegasnya, mengingatkan akan risiko yang dihadapi jika produk-produk tersebut masuk ke dalam pasar domestik.

Kondisi yang dihadapi Indonesia dinilai lebih berat dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Dengan tarif yang tinggi, Indonesia harus bersaing dengan negara-negara seperti Malaysia dan Filipina yang dikenakan tarif lebih rendah. “Pemerintah harus lebih agresif dalam merumuskan strategi untuk memperkuat industri domestik dan mempromosikan produk lokal,” imbuhnya.

Strategi Jangka Panjang

Dalam menghadapi kebijakan tarif timbal balik yang ditetapkan oleh AS, Indonesia tidak hanya perlu mengambil langkah reaktif, tetapi juga harus mempersiapkan strategi jangka panjang untuk memperkuat kemandirian nasional. Penguatan sektor-sektor strategis seperti pangan, energi, industri, maritim, dan iptek harus menjadi prioritas utama dalam perencanaan pembangunan jangka panjang.

Kebijakan proteksionis yang diterapkan oleh AS mencerminkan pergeseran paradigma ekonomi global, dari multikulturalisme menuju nasionalisme ekonomi. Dalam konteks ini, Indonesia sebagai negara berkembang dengan ketergantungan tinggi terhadap ekspor dan impor, menghadapi tekanan struktural yang signifikan.

Menurut data BPS (2023), impor pangan Indonesia mencapai USD 19,2 miliar pada tahun 2022, sementara impor energi mencapai USD 27,4 miliar. Ketergantungan ini menunjukkan bahwa Indonesia belum memiliki kemandirian yang memadai di sektor-sektor vital.

Kemandirian pangan dan energi merupakan pilar utama dalam menjaga stabilitas nasional. Menurut FAO (2023), Indonesia memiliki potensi lahan pertanian sebesar 47 juta hektar, namun hanya 60 persen yang dimanfaatkan secara optimal.

Iwan menekankan bahwa penguatan perekonomian dari basis komunitas sangatlah krusial. “Desa memiliki potensi yang besar. Dengan memberdayakan masyarakat desa sebagai pelaku ekonomi, kita dapat memperkuat kemandirian pangan, energi, dan sumber daya lainnya,” ujarnya.

Lebih jauh lagi, penting untuk membangun infrastruktur yang mendukung perekonomian desa, seperti akses jalan, pasar, dan fasilitas pendukung lainnya. Dengan infrastruktur yang memadai, produk-produk lokal dapat lebih mudah dipasarkan dan didistribusikan, sehingga meningkatkan daya saing.

Kebijakan proteksionis yang diterapkan oleh AS mencerminkan pergeseran paradigma ekonomi global, dari multikulturalisme menuju nasionalisme ekonomi. Dalam konteks ini, Indonesia sebagai negara berkembang dengan ketergantungan tinggi terhadap ekspor dan impor, menghadapi tekanan struktural yang signifikan.

Melalui pendekatan yang mengedepankan desa dan warga sebagai subjek ekonomi, Indonesia dapat menciptakan pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan. Dengan kolaborasi yang kuat antara semua pihak, negara ini tidak hanya akan mampu bertahan dalam menghadapi tantangan internasional, tetapi juga membangun ekonomi yang tangguh dan berdaya saing tinggi di kancah global.

A. Iwan Dwi Laksono, SE, menegaskan bahwa saatnya kita bertransformasi dan memperkuat fondasi ekonomi kita untuk menghadapi tantangan global. “Dengan kolaborasi yang kuat antara sektor pemerintah, swasta, dan masyarakat, Indonesia dapat menciptakan kemandirian yang diharapkan dan membangun ekonomi yang tangguh serta berdaya saing,” tutupnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya