JK: Ada Anggaran Berarti Kartu Sakti Punya Payung Hukum

Jusuf Kalla memastikan program 3 kartu sakti Jokowi-JK yakni KIS, KIP, dan KKS berbeda dengan program SBY sebelumnya.

oleh Silvanus Alvin diperbarui 07 Nov 2014, 17:08 WIB
Diterbitkan 07 Nov 2014, 17:08 WIB
Jusuf Kalla atau JK
Jusuf Kalla atau JK

Liputan6.com, Jakarta - Perdebatan tentang ada tidaknya payung hukum untuk program 3 kartu 'sakti' pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Widodo-JK), akhirnya dijawab Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Menurut JK, kartu sakti yang terdiri dari Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), memiliki anggaran. Dengan demikian, program itu berarti mempunyai payung hukum jelas.

"Jadi semua ada. Kalau ada anggaran sudah ada payung hukum. Karena anggaran itu dalam bentuk APBN. APBN itu dalam bentuk UU. Tidak ada masalah," tegas JK di Kantor Wapres, Jakarta, Jumat (7/11/2014). JK pun menjelaskan kartu sakti yang ada saat ini hanya penurunan sistem dari Undang-Undang yang ada.

"Semua itu misal kartu sehat, anggaran ada di BPJS. Ini hanya sistem aja, jadi anggarannya di BJPS. Jadi UU-nya ada di situ. Kalau kartu pintar itu dalam rangka anggaran pendidikan, yang begitu besar tanggung jawabnya di Diknas. Hanya sistem aja. Kan sistem hanya dibikin aja. Kalau KJS itu kan di bawah Depsos. Anggaranya 5 triliun," papar mantan Ketua Umum Partai Golkar itu.

Meski tak berbeda dengan apa yang telah dijalankan pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tapi JK memastikan program kartu sakti berbeda. "Bukan program SBY. Ini program UU. BPJS itu kan UU. Anggaran pendidikan 20 persen, itu UU," terang JK.

Sebelumnya, mantan menteri hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra mempertanyakan dasar hukum yang digunakan Jokowi-JK untuk menjalankan program 3 kartu sakti. Dalam akun twitter resminya, @Yusrilihza_mhd, Yusril menyampaikan belum jelas apa dasar hukum dikeluarkannya kebijakan 3 jenis kartu sakti KIS, KIP dan KKS oleh Presiden Jokowi.

"Niat baik untuk membantu rakyat miskin karena mau naikkan bbm memang patut dihargai. Hal seperti itu sudah dilakukan sejak SBY," kicaunya.

"Namun mengeluarkan suatu kebijakan haruslah jelas dasar hukumnya. Cara mengelola negara tidak sama dengan mengelola rumah tangga atau warung. Kalau mengelola rumah tangga atau warung, apa yang terlintas dalam pikiran bisa langsung diwujudkan dalam tindakan. Negara tidak begitu. Suatu kebijakan harus ada landasan hukumnya. Kalau belum ada siapkan dulu landasan hukumnya agar kebijakan itu dapat dipertanggungjawabkan," tulis Yusril. (Ein)

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya