Ketua MK Sentil DPR yang Masih Kisruh di Sidang UU BPK

Sentilan itu dilontarkan Hamdan lantaran pihak DPR kembali tidak hadir dalam sidang.

oleh Oscar Ferri diperbarui 10 Nov 2014, 20:00 WIB
Diterbitkan 10 Nov 2014, 20:00 WIB
4-hamdan-zoelva-131223c.jpg
Dalam pembacaan refleksi akhir tahun pada Senin 23 Des 2013 Ketua MK Hamdan Zoelva mengakui kinerja MK selama lebih kurang 10 tahun rusak karena peristiwa tertangkapnya Akil Muchtar (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji materi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dalam sidang ini, Ketua MK yang sekaligus Ketua Majelis Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva menyentil DPR yang tengah kisruh.

"DPR belum hadir karena masih kisruh," kata Hamdan saat sidang di Gedung MK, Jakarta, Senin (10/11/2014).

Sentilan itu dilontarkan Hamdan lantaran pihak DPR kembali tidak hadir dalam sidang. Sidang ini hanya dihadirkan oleh pihak Pemohon yang diwakili kuasa hukumnya Muhammad Andi Asrun ‎dan pihak pemerintah yang diwakili Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Hukum dan HAM Mualimin Abdi. Sejak DPR periode 2014-2019 terbelah 2 sampai menimbulkan 'DPR tandingan', belum ada satu pun perwakilan lembaga wakil rakyat itu yang hadir dalam sidang-sidang MK belakangan ini.

Pemerintah Sebut Pemohon Keliru

Dalam sidang uji materi UU BPK ini Pemohon mempersoalkan aturan rangkap jabatan di BPK. Mualimin selaku wakil pihak Pemerintah menyatakan, Pemohon keliru dalam memaknai arti ketentuan Pasal 28 UU BPK yang diujimaterikan ke MK.

"Ketentuan a quo sudah secara tegas dan jelas mengatur mengenai norma larangan bagi anggota BPK, bukan calon anggota BPK," kata Mualimin.

Menurut dia, larangan rangkap jabatan bagi anggota BPK dalam lingkungan negara yang dimaksudkan adalah untuk menjaga kebebasan dan kemandirian lembaga BPK dari ketergantungan pemerintah. Mualimin juga mengatakan, larangan rangkap jabatan sebagai anggota partai politik juga untuk menghindari terjadinya konflik kepentingan dan menganggu independensi BPK.

Adapun uji materi UU BPK terkait aturan rangkap jabatan ini dimohonkan oleh Ai Latifah Fardhiyah dan Riyanti SH. Menurut pemohon, ketentuan Pasal 28 huruf d dan huruf e UU BPK berpotensi merugikan hak konstitusionalnya sebagai warga negara ketika pihaknya mengikuti proses seleksi menjadi anggota BPK di masa depan akibat ketidakjelasan tafsir.

Pemohon menilai frasa "...lembaga negara yang lain..." dalam pasal yang dimaksud dapat menimbulkan multitafsir bila ada calon anggota BPK yang lolos seleksi. Padahal yang bersangkutan masih bertugas sebagai anggota lembaga negara lain semisal DPR dan masih menjadi anggota partai politik.

Pemohon meminta MK memberi penjelasan terhadap frasa tersebut, apakah mengenai lembaga negara yang secara langsung berhubungan dengan fungsi dan kewenangan mengatur, mengawasi, dan memeriksa keuangan negara, atau lembaga negara yang dipahami dalam pengertian lembaga negara secara umum. (Ans)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya