Kasus PT TPPI, antara Sri Mulyani dan Jusuf Kalla

Anggota Komisi XI Misbhakun mengaku tidak menemukan peran besar mengatakan tidak ada peranan besar Jusuf Kalla dalam kasus tersebut.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 09 Jun 2015, 18:36 WIB
Diterbitkan 09 Jun 2015, 18:36 WIB
Wapres JK Buka Munas Masyarakat Ketenagalistrikan di PLN
Wapres Jusuf Kalla. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta - Mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut Wakil Presiden Jusuf Kalla memimpin penyelamatan PT TPPI pada 21 Mei 2008. Anggota Komisi XI Misbhakun mengaku tidak menemukan peran besar mengatakan tidak ada peranan besar Jusuf Kalla dalam kasus tersebut.

Menurut dia, pemerintah berhak melakukan penjualan kondensat milik negara melalui BP Migas untuk oleh PT TPPI. Walaupun, PT TPPI tidak memiliki kemampuan finansial.

"Kalau soal Pak JK saya belum melihat konteks keterkaitannya. Memang jatah kondensat itu pemerintah punya hak mengelola, di mana itu kewenangan BP Migas. Mekanismenya diberikan. Yang menjadi pertanyaan, kenapa perusahan yang tidak sehat itu diberikan (kewenangan)?" ujar Misbhakun di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (9/6/2015).

Menurut dia, inilah hal yang perlu di dalami oleh Bareskrim. Termasuk soal ketepatgunaan pengelolaan yang dilakukan PT TPPI.

"Ibu Sri Mulyani kan profesional dalam banyak hal. Tidak mungkin beliau tanpa dasar porfesional memberikan pengelolaan kepada perusahaan yang tidak sehat. Apakah ada tekanan atau itu tidak? Yang menjadi pertanyaan, kenapa enggak dijual kalau enggak sehat," tanya Misbhakun.

Senada, pengamat ekonomi kebijakan publik, Ichanuddin Noorsy mengatakan JK masih melihat adanya keuntungan jika pengolahan dilakukan PT TPPI. Ini berdasar risalah rapat 21 Mei 2008.

"Dalam hal ini Jusuf Kalla mengatakan Pertamina menyediakan kondesat bagi TPPI di mana bisa saling menguntungan bagi kedua perusahaan itu. Ini yang disebut penyelamatan karena pemerintah memang berhak," jelas Ichanuddin.

Namun, dia mempertanyakan peranan pemerintah yang menyerahkan PT TPPI di tangan Honggo Wendratmo.

"Pemerintah telah kacau menyerahkan orang yang punya banyak masalah, yaitu kepada Honggo Wendratmo. Jelas saat di tangan dia beberapa kondusi merugi. Ini yang harus dipertanggungjawabkan. Kenapa Sri Mulyani juga tak bisa mengatur Honggo untuk pembayarannya?" jelas dia.

Menurut dia, Bareskrim juga harus memeriksa orang-orang yang hadir dalam rapat tersebut, seperti Dirjen Pertamina, Direktur Utama PT TPPI, Menteri ESDM, dan Menko Perekonomian.

"Selain itu pihak Bareskrim harus melihat bagaimana proses pengiriman kondesatnya, siapa yang mengirim, bagaimana dokumennya dan PT TPPI menjualnya ke mana?" tutup dia.

Namun, Dirtipideksus Bareskrim Polri Brigjen Pol Victor Simanjuntak mengatakan, ia telah membaca hasil pemeriksaan yang dilakukan penyidik terhadap Sri Mulyani. Kesimpulan sementara Wapres JK tidak ada kaitan langsung dengan penjualan kondensat ke PT TPPI.

"Saya pikir tidak ada kaitannya dengan Wapres. Karena Wapres ambil kebijakan, tapi tidak dilaksanakan PT TPPI," kata Victor di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (9/6/2015).

Ia melanjutkan, saat itu kebijakan Wapres JK sementara ini dinilai tidak bermasalah. Yang menjadi persoalan adalah mereka atau oknum yang diduga telah menjual kondensat bagian negara itu yang tidak melaksanakan instruksi Wapres JK.

"Kebijakan saat itu ketika TPPI diberikan kondensat, maka itu untuk dijadikan RON 88, solar dan kerosin untuk dijual lagi ke Pertamina. Tapi nyatanya itu tidak ada penjualan ke Pertamina. Malah dijual keluar ke PT Vitol," beber Victor.

Keterangan Sri Mulyani

Sri Mulyani mengungkapkan keterlibatan Jusuf Kalla dalam kasus tersebut. "Ada rapat yang dilakukan bersama Wapres JK waktu itu pada 21 Mei 2008 yang secara jelas membahas soal Petrokimia Tuban dan di dalam pembahasan yang saya enggak hadir," jelas Sri Mulyani.

Penjualan kondensat bisa dilakukan PT TPPI karena sebagian aset perusahaan itu milik negara. Oleh karena itu, negara bisa memanfaatkan.

"PT TPPI itu dimiliki (asetnya) sebagian oleh negara, BP Migas dan Pertamina milik negara, maka Kemenkeu dalam suratnya menetapkan tata laksana transaksi keuangan antarunsur milik negara tersebut. Tujuannya menjaga kepentingan negara," jelas Sri.

"Kewajiban atas kondensat yang dimiliki pemerintah itu kan harus dibayar lunas, (karena itu) kedua pengadaan BBM dalam negeri (BP Migas dan PT Pertamina) dilakukan melalui tata kelola yang diatur dalam undang-undang. Ketiga aset negara inilah (bagaimana kinerjanya) bisa dimaksimalkan. Dalam hal ini termasuk PT TPPI yang memang sebagian besar dimiliki oleh negara," jelas Sri.

Diketahui, SKK Migas melakukan proses penunjukkan langsung penjualan kondensat milik negara kepada PT TPPI pada 2009.

Ini menyalahi Keputusan Kepala BPMIGAS Nomor KPTS-20/BP00000/2003-S0 tentang pedoman tata kerja penunjukan penjual minyak mentah/kondensat bagian negara dan Keputusan Kepala BPMIGAS KPTS-24/BP00000/2003-S0 tentang pembentukan tim penunjukan penjual minyak mentah.

Kasus ini melanggar ketentuan pada Pasal 2 dan pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan atau Pasal 3 dan Pasal 6 UU Nomor 15 Tahun 2015 tentang tindak pidana pencucian uang sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 25 Tahun 2003.

Pada kasus penjualan kondensat tersebut, negara diduga rugi sekitar US$ 156 juta atau sekitar Rp 2 triliun.(Bob)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya