Dana Aspirasi Jebakan untuk Pemerintahan Jokowi-JK?

Presiden Jokowi harus menolak usulan dana aspirasi.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 14 Jun 2015, 15:57 WIB
Diterbitkan 14 Jun 2015, 15:57 WIB
Kompleks Gedung DPR
Kompleks Gedung DPR (Liputan6.com/Faisal R Syam)

Liputan6.com, Jakarta - Pengajuan dana aspirasi sebanyak Rp 15-20 miliar oleh DPR dipandang sarat kepentingan. Banyak pihak yang menilai ini jebakan untuk Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK).

Koordinator Advokasi dan Investigasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Apung Widadi mengatakan, Presiden Jokowi harus menolak usulan tersebut. Penolakan ini untuk menampik dugaan transaksional dengan DPR guna mengamankan situasi politik.

"Jangan sampai bentuk transaksional melekat kepada Presiden Jokowi dengan menyetujui dana aspirasi masuk dalam APBN agar situasi politiknya (yang sebagian besar beda koalisi). Karena itu Presiden Jokowi harus menolak usulan tersebut. Selain itu ini menjebak pemerintahan juga, karena jika ada korupsi, DPR bisa cuci tangan, karena anggaran ini kan dikelola atau dieksekusi oleh pemerintah daerah dan Kementerian terkait," ujar Apung dalam sebuah diskusi di Jalan MH Thamrin, Jakarta, Minggu (14/6/2015).

Peneliti Indonesia Budget Centre (IBC) Roy Salam meminta publik jangan terjebak dana aspirasi sebagai bentuk kerja DPR. "Jangan kita terjebak bahwa DPR tidak bekerja karena tidak ada duit. Problemnya kan apakah DPR itu berfungsi atau tidak? Secara konstitusional DPR itu sudah baik. Tinggal disikronkan saja sistem parlemen dengan sistem politik yang ada," jelas Roy.

Menurut dia, jangan sampai dana ini semakin menaikkan nama legislator di daerah pemilihannya. "Yang bahaya jika para legislator ini mengatakan dana aspirasi ini adalah dananya di dapilnya. Ini kan jelas ada komoditi politik yang dibawa," tegas Roy.

Selain itu, dengan adanya dana aspirasi, jelas mengintervensi program-program pemerintah yang notabene DPR hanya perlu mengawasi.

"Ibarat sebuah bus, sopirnya eksekutif, di mana penumpangnya eksekutif juga. Tapi ada satu penumpang yang bernama legislatif (DPR). Si supir kan enggak bisa maksa si legislatif ini diturunkan di mana. Mau tidak mau, si supir akan bertanya mau diturunkan di mana. Gambaran ini kan jelas intervensi bentuknya," pungkas Roy. (Bob/Mut)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya