MK Mentahkan Judicial Review Perkawinan Beda Agama

Dalam putusannya, hakim konstitusi Arief Hidayat menjelaskan, UU tentang Perkawinan tersebut sama sekali tidak melanggar konstitusi.

oleh Nafiysul Qodar diperbarui 18 Jun 2015, 22:53 WIB
Diterbitkan 18 Jun 2015, 22:53 WIB
Alasan Pemohon Ajukan Uji Materi UU Perkawinan Beda Agama ke MK
Damian berharap frasa 'kepercayaannya' ditinjau kembali oleh Mahkamah Konstitusi (MK), dan bisa diberikan kepada mempelai.

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh permohonan judicial review atau uji materi terkait perkawinan beda agama, yang tertuang pada Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Dalam putusannya, hakim konstitusi Arief Hidayat menjelaskan, UU tentang Perkawinan tersebut sama sekali tidak melanggar konstitusi.

"Mahkamah berpendapat bahwa permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum, dan menolak seluruh permohonan yang diajukan pemohon," ujar Arief dalam sidang putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (18/6/2015).

Arief mengatakan, agama menjadi landasan bagi setiap individu dengan mewadahi hubungan antara Tuhan dengan manusia. Sementara dengan negara, lanjut dia, akan berperan untuk menjamin kepastian hukum dan melindungi pembentukan sebagai keluarga yang sah.

Arief juga menjelaskan, bunyi Pasal 2 Ayat 1 yang menyatakan bahwa perkawinan dianggap sah apabila dilakuan menurut masing-masing agama dan dicatat sesuai aturan perundang-undangan bukan merupakan suatu pelanggaran konstitusi.

Ia berpendapat perkawinan tidak hanya dilihat dari segi aspek formal, melainkan juga dengan aspek spiritual dan sosial.

Permohonan judicial review ini terdaftar dengan Nomor 68/PUU-XII/2014 dengan pemohon perkara berjumlah 4 orang, yakni atas nama Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Varida Megawati Simarmata, dan Anbar Jayadi.

Mereka menguji Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu."

Pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya berpotensi dirugikan dengan berlakunya syarat keabsahan perkawinan menurut hukum agama. Menurut mereka, pengaturan perkawinan sebagaimana yang tercantum dalam aturan tersebut akan berimplikasi pada tidak sahnya pernikahan yang dilakukan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaan. (Ado/Mar)

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya