Peradi Akui Advokat Rawan Dimanfaatkan untuk Pencucian Uang

Advokat paling rentan dimanfaatkan, karena sudah pasti mengatasnamakan klien.

oleh Oscar Ferri diperbarui 06 Agu 2015, 15:14 WIB
Diterbitkan 06 Agu 2015, 15:14 WIB
Ilustrasi Pencucian Uang
Ilustrasi Pencucian Uang (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Liputan6.com, Jakarta - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebut sejumlah profensi tertentu (gatekeeper) rawan dimanfaatkan para pelaku pencucian uang untuk menyamarkan aset-asetnya. Salah satunya adalah profesi advokat atau pengacara.

"Tadi PPATK menyebut, sekitar 69 persen dari gatekeeper ini adalah advokat," ujar Sekretaris Jenderal Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Thomas Tangkubolon usai diskusi 'Diseminasi Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang', di Gedung PPATK‎, Jakarta, Kamis (6/8/2015).

Thomas mengakui, advokat memang profesi yang potensial untuk dimanfaatkan pelaku pencucian uang. Apalagi, advokat mengurus perkara kliennya sejak awal sampai vonis dijatuhkan.

"Urus perkara pidana misalnya, sejak di kepolisian, kejaksaan, pengadilan, sampai di LP (lembaga pemasyarakatan), advokat harus mendampingi kliennya" ujar Thomas.

Dia menyebut advokat paling rentan dimanfaatkan, karena sudah pasti mengatasnamakan klien. ‎"Lain dengan notaris, tidak atas nama kliennya. Jadi, di sini (advokat) bisa aktif untuk terlibat," ucap Thomas.

Namun, Thomas menegaskan juga, bahwa tugas advokat ‎berkenaan pula dengan segala kerahasiaan kliennya. Para advokat dalam UU Advokat dilarang membuka setiap rahasia kliennya. Di sini Thomas menggarisbawahi, hal-hal mana saja yang perlu dilaporkan ke PPATK sesuai PP 43/2015 itu berkaitan dengan hal-hal yang ditangani advokat terhadap kliennya.

‎"PPATK harus jelaskan mana yang harus dilaporkan. Tidak semua yang sifatnya rahasia harus dilaporkan," ucap Thomas.

Untuk itu, Thomas melihat masih sulit PP 43/2015 dilakukan. Mengingat, gatekeeper yang diklasifikasikan di dalamnya masih bersifat subjektivitas dari PPATK.‎ Karenanya, Peradi ke depan bisa bekerja sama dengan PPATK untuk menentukan hal-hal mana yang wajib dilaporkan dan mana yang tidak wajib dilaporkan berkenaan penanganan klien advokat.

"Ini masih subjektif. Jadi agak susah PP ini dilakukan. ‎Ke depan kita harus kerja sama dengan PPATK supaya advokat ini tidak salah. Kan PPATK yang ungkap 69 persen advokat itu potensial. Ini perlu di‎bicarakan dengan PPATK, yang mana saja yang wajib dilaporkan," kata Thomas. (Ron/Sun)

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya