Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu memutus pasangan calon tunggal bisa ikut dalam pilkada serentak. ‎Mekanismenya, MK menyatakan, melalui pemilihan 'setuju' dan 'tidak setuju' dalam pilkada yang diikuti oleh 1 pasangan calon saja.
MK langsung bergerak cepat. Saat ini, MK tengah mempersiapkan mekanisme jika ada gugatan sengketa p‎ilkada yang hanya diikuti oleh pasangan calon tunggal itu.
"Siapa yang punya legal standing (kedudukan hukum) dalam gugatan (sengketa pilkada) calon tunggal? Kalau yang 'setuju' kalah, berarti legal standing yang punya calonnya. Kalau yang 'tidak setuju' yang kalah, siapa yang punya legal standing itu yang akan kita atur," kata Ketua MK Arief Hidayat di Gedung MK, Jakarta, Senin 12 Oktober 2015.
Menurut Arief, hal itu mesti disiapkan masak-masak, lantaran menyangkut hak konstitusi masyarakat. Itu karena masyarakat sebagai pemilih yang menentukan 'setuju' dan 'tidak setuju' pemilihan di daerah yang cuma ada 1 pasangan calon saja.
‎"Itu menyangkut hak dari masyarakat untuk dapat judicial justice, hak dapatkan keadilan dalam proses pemilihan," ujar dia.
Arief mengaku, MK tidak akan mengabaikan hal itu. Mengingat, masyarakat yang memilih 'tidak setuju' harus diakomodasi pencarian keadilannya dalam pelaksanaan pilkada. Dengan begitu, ada solusi melalui jalur gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) atau yang biasa dikenal dengan sengketa pemilu.
"Pasti akan kita atur. Nanti itu akan kita pikirkan, kita buka akses masyarakat yang 'tidak setuju' bisa memperoleh keadilan supaya ada solusi dalam penyelenggaraan pilkada bisa berlangsung jujur dan bersih akan dipenuhi melalui dibukanya PHPU," ucap Arief.‎
Meski demikian, Arief menolak menjelaskan lebih jauh. Yang jelas, pihaknya tengah menyiapkan draf terkait solusi sengketa pilkada calon tunggal tersebut. Di mana oleh seluruh hakim MK akan dibahas dalam Rapat Pemusyawaratan Hakim (RPH) yang kemudian dituangkan ke dalam Peraturan MK (PMK). Bisa dengan PMK khusus atau bisa juga substansi pengaturannya ditambahkan ke dalam PMK yang sudah ada sebelumnya.
"Kita sudah siapkan draf nanti akan dibicarakan dalam RPH. Kita harap minggu ini selesai. Ada beberapa kemungkinan, apakah PMK tersendiri khusus mengatur calon tunggal atau apakah adendum PMK yang sudah ada. Tapi bentuknya pasti dalam PMK," kata Arief.
Putusan MK
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi Pasal 49 ayat (8) dan (9), Pasal 50 ayat (8) dan (9), Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (2), serta Pasal 54 ayat (4), (5), dan (6) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada (UU Pilkada).
Permohonan ‎itu digugat oleh ‎Effendi Gazali dan Yayan Sakti Suryandaru yang mempermasalahkan syarat minimal 2 pasangan calon, sementara di sejumlah daerah masih terdapat 1 pasangan calon saja alias pasangan calon tunggal.
Dalam amar putusannya, Majelis Hakim Konstitusi berpendapat, pilkada yang hanya diikuti oleh pasangan calon tunggal, manifestasi kontestasinya lebih tepat apabila dipadankan dengan plebisit yang meminta rakyat sebagai pemilih untuk menentukan pilihannya dengan mekanisme 'setuju' atau 'tidak setuju' dengan pasangan calon tunggal tersebut. Bukan dengan pasangan calon kotak kosong sebagaimana dikonstruksikan oleh Pemohon.
Apabila ternyata suara rakyat lebih banyak memilih 'setuju', maka pasangan calon dimaksud ditetapkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Sebaliknya, apabila ternyata suara rakyat lebih banyak memilih 'tidak setuju', maka pemilihan ditunda sampai pilkada serentak berikutnya. (Mvi/Rmn)*