Liputan6.com, Jakarta - Sudah sepekan lebih konflik di Perumahan Bukit Mas, Bintaro, Jakarta Selatan, yang berujung pada penembokan akses salah satu rumah warga belum menemui titik temu. Tembok yang menutup rumah milik Denni Krisna Putera alias Denni Akung (41) di Jalan Cakra Negara Blok E7 RT 001/RW 015 Bukit Mas, Bintaro, itu hingga kini masih berdiri kokoh.
Kelompok yang mengatasnamakan Warga Peduli Perumahan Bukit Mas (WPPBM) itu menyesalkan sikap Denni Akung yang seolah-olah menjadi korban dalam konflik ini. Padahal sebenarnya dia sudah tahu permasalahannya sejak rumah itu hendak dibeli dari pemilik pertama, Heru.
"WPPBM itu ada 70 KK. Kami tidak setuju masuknya Denni ke kompleks ini. Sebab, tingkah lakunya menurut kami tidak sesuai dengan budaya Indonesia. Apalagi dia mengklaim dirinya sebagai korban dan memainkan perasaan banyak aparat agar dikasihani," ujar salah satu warga WPPBM, Fida Muljono, di Kompleks Bukit Mas, Bintaro, Jakarta Selatan, Senin (9/11/2015).
Baca Juga
Fida mengatakan seharusnya Denni meminta pertanggungjawaban kepada Heru. Sebab, saat rumah itu masih milik Heru warga sudah memprotes dan menemboknya. Tembok pertama yang dibangun warga kemudian dihancurkan saat Denni sepakat membeli rumah itu dari Heru.
"Tembok itu dihancurkan dengan menyewa preman-preman entah dari mana. Apakah kelakuan ini yang diharapkan oleh Pak Denni agar diterima oleh warga kompleks?" tutur Fida.
Hal serupa juga disampaikan anggota WPPBM lainnya, Penny FN. Pria paruh baya ini mengungkapkan bahwa Denni sempat mengakui jika rumah yang ia tempati ini bermasalah saat mediasi dengan warga di Kantor Kelurahan Bintaro.
"Dia sudah tahu ada masalah tapi kenapa masih dibeli. Dia juga pernah mengakui pas berkumpul di kelurahan. Tetapi kenapa dia enggak menuntut Heru, justru tetap keukeuh (bangun rumah)," tutur Penny.
Indikasi bahwa Denni dan Heru dalam posisi salah terlihat dari uang kompensasi sebesar Rp 200 juta yang mereka tawarkan ke warga. Dana itu ditujukan untuk pemeliharaan fasilitas sosial (fasos) dan fasilitas umum (fasum) di kompleks tersebut.
"Kenapa dia nawarin uang Rp 200 juta kalau merasa benar. Berarti dia kan merasa salah. Kami sama sekali tidak pernah meminta uang sepeser pun dari mereka. Karena ini bukan persoalan uang," tandas Penny.
Legalitas Kuat
Dihubungi terpisah, pengacara Denni, Djalu Arya Guna mengungkapkan alasan kenapa kliennya masih bertahan dengan sikapnya. Menurut dia, Denni berpatokan pada legalitas sertifikat rumahnya dan dokumen Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang menunjukkan bahwa rumah tersebut menghadap ke Jalan Cakra Negara.
"Klien kami tetap berpegang pada legalitas yang mereka miliki. Pak Denni juga mendapatkan izin dari RT dan RW merobohkan tembok yang pertama," ucap Djalu saat dihubungi Liputan6.com.
Djalu justru mempertanyakan legal standing WPPBM menembok rumah kliennya itu. Sebab, tidak semua warga Bukit Mas menolak keberadaan rumah Denni Akung menghadap ke Jalan Cakra Negara.
"Terkait tudingan ada permainan oknum RT, RW, kelurahan, itu urusan lain. Itu hak mereka menuding. Yang jelas klien kami punya legalitas dari pemerintah," tutur dia.
Hingga saat ini, 'tembok derita' yang menutup akses rumah Denni Akung itu masih berdiri kokoh. Tembok tersebut dibangun WPPBM pada Minggu, 1 November lalu. Pihak Denni masih menunggu utusan Pemprov DKI membongkar tembok tersebut karena berdiri di atas lahan fasos fasum. (Ron/Mut)**