Liputan6.com, Jakarta - Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) merilis hasil investigasi kecelakaan pesawat AirAsia QZ8501. Pesawat yang membawa 162 orang itu mengalami celaka di perairan Selat Karimata pada Minggu, 28 Desember 2014 pagi.
Dari hasil investigasi diketahui bahwa faktor terbang yang sempat dipermasalahkan dan cuaca selama penerbangan dari Surabaya ke Singapura tidak terkait dengan kecelakaan ini.
"Hal-hal seperti perizinan rute penerbangan dianggap tidak terkait pada kecelakaan ini. KNKT juga tidak menemukan tanda-tanda atau pengaruh cuaca yang menyebabkan kecelakaan ini," ucap investigator KNKT Nurcahyo Utomo dalam jumpa pers di kantor KNKT, Jakarta, Selasa (1/12/2015).
Pria yang akrab disapa Cahyo itu menjelaskan pesawat yang terbang dari Bandara Juanda, Jawa Timur, pukul 05.35 WIB itu sudah beberapa kali mengalami gangguan setelah terbang sekitar 30 menit.
Dia mengatakan sejak pukul 06.01 WIB, Flight Data Recorder (FDR) mencatat adanya aktivasi peringatan 4 kali. Hal itu disebabkan terjadinya gangguan pada sistem Rudder Travel Limiter (RTL). Gangguan itu juga mengaktifkan Electronic Centralized Aircraft Monitoring (ECAM) berupa pesan 'Auto FLT RUD TRV LIM SYS'.
"Berdasarkan pesan ini, awak pesawat melaksanakan perintah sesuai langkah-langkah yang tertera pada ECAM," ucap dia.
Gangguan itu muncul 3 kali. Ketiga gangguan awal itu muncul pada sistem RTL, yang kemudian ditangani awak pesawat sesuai instruksi dari ECAM. Namun, ketiga gangguan pada sistem RTL ini bukan suatu yang membahayakan penerbangan.
Gangguan Keempat
Gangguan Keempat
Usai 3 gangguan itu, pada pukul 06.15 WIB muncul gangguan keempat. FDR, kata Cahyo, mencatat gangguan ini berbeda dengan 3 gangguan awal tadi. Gangguan keempat ini menunjukkan kesamaan dengan kejadian pada 25 Desember 2014 atau 3 hari sebelum pesawat celaka. Saat itu ketika masih di darat, pesawat AirAsia QZ8501 menunjukkan gangguan Circuit Breaker (CB) dari Flight Auqmentation Computer (FAC) di-reset.
"Tindakan awak pesawat setelah gangguan keempat ini mengaktifkan tanda peringatan kelima yang memunculkan pesan di ECAM berupa 'Auto FLT FAC 1 Fault' dan peringatan keenam yang memunculkan pesan di ECAM berupa 'Auto FLT FAC 1+2 Fault'," kata mantan pilot Boeing ini.
Setelah pesan 'Auto FLT FAC 1-2 Fault' itu, sistem autopilot dan autothrust tidak aktif. Sistem kendali fly by wire pesawat berganti dari normal law ke alternate law di mana beberapa proteksi tidak aktif.
"Pengendalian pesawat oleh awak dari auto pilot ke manual itu selanjutnya menyebabkan pesawat masuk dalam kondisi upset condition dan stall hingga akhir rekaman FDR," ujar Cahyo.
Cahyo mengatakan investigasi KNKT terhadap catatan perawatan pesawat dalam 12 bulan terakhir sebelum celaka menemukan adanya 23 kali gangguan yang terkait dengan sistem RTL di tahun 2014. Selang waktu antara kejadian menjadi lebih pendek dalam 3 bulan terakhir.
"Gangguan-gangguan itu diawali oleh retakan solder pada electronic module pada RTL Unit (RTLU) yang lokasinya berada pada vertical stabilizer," ucap dia.
"Sistem perawatan pesawat yang ada saat itu belum memanfaatkan post flight report (PFR) secara optimal, sehingga gangguan pada RTL yang berulang tidak terselesaikan secara tuntas," kata Cahyo.**
Advertisement