Liputan6.com, Jakarta - Anggota Komisi I DPR, TB Hasanuddin menilai, seharusnya Presiden Joko Widodo melakukan persidangan etik terhadap Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Luhut Binsar Pandjaitan.
Hal itu dilogikakan dengan tindakan Menteri Energi, Sumber Daya, dan Mineral (ESDM) Sudirman Said yang melaporkan Ketua DPR Setya Novanto terkait dugaan pelanggaran etik dalam skandal rekaman yang diduga mencatut nama Presiden dan wakilnya ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
"Kalau Sudirman perkarakan etik Setya Novanto, apa Luhut juga tidak melanggar etik? Karena namanya ada di dalam rekaman itu. Seharusnya Luhut juga disidang etik. Siapa yang menyidangkan etiknya? Ya Presiden. Dia (Luhut) kan anggota kabinet," ujar TB Hasanuddin di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (4/12/2015).
Baca Juga
Politisi PDI Perjuangan itu menganggap, sidang etik seharusnya dilakukan terkait persoalan internal, bukan berkaitan dengan orang luar. Seharusnya, persoalan rekaman percakapan itu diselesaikan dulu di ranah hukum, bukan langsung di MKD.
Karena itu, Hasanuddin menilai langkah Kejaksaan Agung menyelidiki substansi dalam rekaman pertemuan antara Setya (SN), pengusaha M Riza Chalid (MR) dengan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoedin (MS) sudah tepat, meski terlambat. "Itu sudah tepat," kata dia.
Diketahui dalam rekaman tersebut nama Luhut Binsar Panjaitan termasuk yang cukup sering disebut oleh SN maupun MR. Setidaknya nama mantan Kepala Staf Kepresidenan itu disebut sebanyak 66 kali.
Bahkan, oleh Maroef, penyebutan nama Luhut dianggap sebagai jaminan.
"Pada penjelasan-penjelasan itu, menurut saya, lawan bicara (SN-MR) berusaha meyakinkan saya (dengan menyebut nama Luhut). Itu sebagai upaya penjaminan. Sehingga saya bisa menegosiasikan ini (soal Freeport)," ucap Maroef di persidangan MKD, Kamis 3 Desember lalu.