Liputan6.com, Jakarta - Mata masyarakat Indonesia akan tertuju pada DPR hari ini, khususnya kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR. Mahkamah penjaga marwah DPR itu akan memberikan putusan terkait kasus dugaan pelanggaran etik Ketua DPR Setya Novanto pada sidang tertutup Rabu ini.
"Besok itu tertutup, tapi pengumuman putusannya terbuka," ujar Ketua MKD Surahman Hidayat di Gedung DPR, Selasa (15/12/2015).
Baca Juga
Politikus PKS itu menegaskan besok tidak ada voting. Melainkan, akan ditanya satu-satu tiap anggota MKD, di mana suara mayoritas akan menentukan hasil putusan dan suara minoritas akan menjadi dissenting opinion. "Tidak voting. Tidak, tidak ada voting itu," ungkap Surahman.
Advertisement
Saat ditanya arahan partainya untuk putusan MKD, menurut Surahman, diserahkan semuanya kepada dia. "PKS tidak punya pendapat. Dia menyerahkan ke saya," jawab Surahman.
Senada, politikus PKS lainnya Jazuli Juwaini menegaskan tidak ada intervensi dari partai. Karena itu, dia tidak mengetahui apa yang bakal terjadi.
"MKD itu punya otoritas. Tidak boleh ada intervensi fraksi. Meskipun anggotanya dari fraksi, kan namanya mahkamah. Mahkamah enggak boleh ada intervensi. Kami tidak tahu apa yang terjadi," ujar pria yang menjadi Ketua Fraksi PKS itu.
PAN Inginkan Perubahan
Sementara itu, Wakil ketua Umum PAN Hanafi Rais menegaskan akibat perkara 'Papa Minta Saham', wajah DPR tercoreng. Karena itu, dia menegaskan partainya menginginkan terjadinya perubahan sesuai keinginan rakyat.
"Wajah DPR juga sudah tidak tertolong lagi. Jadi Fraksi PAN, termasuk dua yang di MKD itu ya ikuti saja apa yang menjadi aspirasi rakyat, karena itu yang terbaik bagi DPR," ujar Hanafi.
"Suara rakyat selama ini menginginkan perubahan supaya DPR lebih profesional dan etis, jadi itu yang dipegang," ungkap dia.
Saat ditanya oleh awak media, jika Setya diberikan sanksi sedang dengan konsekuensi pencopotan status Ketua DPR, dia mengaku setuju.
"Iya enggak apa-apa. Setuju saja. Tapi arahnya itu kalau mau putusan dengan teman-teman (anggota MKD PAN) seperti itu. Saya kira itu putusan yang adil. Toh kita kan bicara soal lembaga, bukan orang per orang," ungkap dia.
PDIP Jamin Tak 'Masuk Angin'
Sementara anggota MKD dari fraksi PDIP, Muhammad Prakosa juga mengaku belum memiliki pertimbangan untuk keputusan hari ini. Meski demikian, dia menepis anggapan bahwa MKD akan 'masuk angin' dalam memutuskan perkara ini.
"Kalau masuk angin saya kira tidak ada. Yang ada bahwa semua anggota mempunyai pendapat berdasarkan fakta persidangan dan bukti-bukti," kata Prakosa.
Baca Juga
Sementara itu, Wakil Ketua MKD Junimart Girsang, mengisyaratkan bahwa Setya tak memperoleh hukuman yang ringan, lantaran sudah pernah menerima hukuman.
"Tidak boleh dua kali pelanggaran ringan. Harus akumulasi. Jadi sudah masuk ke pelanggaran sedang. Apa itu sedang? Pencopotan dari Pemimpin DPR," ungkap Junimart.
Senada, Risa Mariska yang merupakan anggota MKD baru dari PDIP menggantikan Marsiaman Saragih, sudah menegaskan bahwa pelanggaran etik Setya sudah terlihat. "Intinya enggak ada perintah partai. Enggak ada arahan apa-apa. Kalau pelanggaran etika udah rahasia umum," kata dia.
Demokrat Sudah Dapat Mandat
Di sisi lain, Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Syarif Hasan, mengatakan sudah mendapat mandat dari partainya untuk anggota MKD.
"Anggota kita di sana firm, sudah mendapat mandat khusus dari partai untuk menentukan sikap," jelas dia.
Syarif menegaskan, partainya ingin ini terungkap dan disampaikan secara jujur apa yang terjadi.
"Ya momen MKD ini sebaiknya menjadi ajang untuk mengungkapkan yang sebenarnya apa yang terjadi. Harapan kita sih sebenarnya begitu. Apa sih yang sebenarnya terjadi? Tolong diungkap. Diungkapkan dengan sejujurnya. Itu aja sebenarnya harapan kita," ujar dia.
"Kita lihat hasilnya ke MKD nanti. Iya kan. Kita tidak boleh mendahului. Iya kan?" tegas Syarif.
Golkar Tanpa Arahan Ical
Sementara itu, partai tempat Setya bernaung, Golkar disebutkan tidak punya arahan langsung dari Ketua Umum Aburizal Bakrie atau Ical.
"Enggak ada. Enggak ada arahan partai. Enggak ada juga (dari Ical)," ungkap anggota MKD dari Fraksi Golkar, Adies Kadir.
Saat ditanya, banyak tuduhan jika Partai Golkar ingin menyelamatkan Setya, dia hanya cuek. "Ya biarin aja (tuduhan itu)," tutur dia.
Namun, hal berbeda diungkapkan politikus Golkar lainnya, Dave Laksono. Dia menilai bahwa Setya Novanto telah gagal menjalani jabatannya sebagai Ketua DPR. Dia sadar langkah ini akan tidak disukai oleh rekannya sesama kader Golkar.
"Meski banyak teman di fraksi mengutuk apa yang saya buat, tapi ini yang terbaik, untuk perjalanan ke depan. Karena saya melihat Pak Ketua gagal menjalankan tugasnya," ungkap Dave.
Nasdem Ngotot
Anggota dari Fraksi Nasdem, Akbar Faizal tetap berkeyakinan bahwa kebenaran nanti akan sulit dikalahkan, terutama soal adanya dugaan pelanggaran kode etik.
"Saya tetap yakin kebenaran itu akan sulit dikalahkan. Karena itu, saya akan buktikan bahwa kebenaran yang menang," ungkap Akbar.
Namun, dia kembali menuding bahwa Golkar akan tetap mengamankan Setya Novanto dari jeratan pelanggaran etik.
Gerindra Sudah Beri Tanda
Sementara itu, Wakil Ketua Fraksi Gerindra Desmond J Mahesa menegaskan, ia telah meminta agar Setya Novanto mundur dari jabatannya.
Meskipun demikian, dirinya sulit untuk menentukan keinginan koalisinya, Golkar. "Kalau fraksi saya, saya suruh mundur. Tapi kalau Golkarnya happy," ucap Desmond.
Meski begitu, dirinya setuju, apa yang disuarakan rekan-rekan di dewan, yang melakukan gerakan #SaveDPR. Dia menilai itulah tanda, bahwa tak setuju lagi Setya berada di kursi pimpinan.
"Ini salah satu isyarat Gerindra ingin selamatkan DPR," ucap dia.
Hanura Sesuai Aturan
Sementara itu, Sekretaris Fraksi Hanura, Dadang Rusdiana sepakat untuk memberikan sanksi pemberhentian kepada Setya Novanto sebagai Ketua DPR dan menjadi anggota biasa.
"Kalau kita sepakat dengan sanksi pemberhentian sebagai Ketua DPR, dikembalikan jadi anggota biasa," ungkap dia.
Menurut Dadang, hal ini sesuai dengan keputusan DPR No 2/2015 tentang Tata Beracara MKD. Hal ini menimbang, pemaknaan pelanggaran kode etik berat, yang di mana yang bersangkutan harus menjadi terpidana dan ada putusan hukum tetap.
"Kalau pelanggaran berat, ini (termasuk berat). Tetapi kalau di keputusan DPR, kalau berat itu harus terdakwa atau dia dalam kondisi terpidana tapi harus incraht. Jadi kalau misalkan melalui hukum ini akan lama. Itu akan membuat lembaga DPR menjadi bulan-bulanan dan tidak punya wibawa," kata Dadang. (*)