Perludem: MK Jangan Jadi Mahkamah Kalkulator Adili Kasus Pilkada

Fadil meminta MK menekankan penyelesaian hasil sengketa pada persoalan substansi, bukan hanya permasalahan angka dan suara.

oleh Luqman Rimadi diperbarui 03 Jan 2016, 19:25 WIB
Diterbitkan 03 Jan 2016, 19:25 WIB
Gedung MK
Gedung MK

Liputan6.com, Jakarta - Pilkada serentak di 269 daerah tingkat kabupaten/kota maupun provinsi menyisakan pekerjaan rumah berupa perselisihan hasil pemilihan di Mahkamah Konstitusi.

Total, ada 147 laporan gugatan hasil pelaksanaan Pilkada Serentak yang diterima MK.
‎‎
Koordinator Pemantauan Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil meminta Mahkamah Konstitusi (MK) tidak menjadi Mahkamah Kalkulator yang hanya mengadili persoalan hasil pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2015 dari ketetapan angka perolehan suara.

"Jika menguak proses perselisihan hasil di MK dalam Pilkada, MK bukan hanya jadi Mahkamah Kalkulator yang hanya mengadili persoalan ketetapan angka hasil perolehan suara calon saja. MK seharusnya masuk ke pemeriksaan yang substansi," ujar Fadli saat memberi keterangan pers di Kantor Perludem, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Minggu (3/1/2016). 
‎‎
Dia menuturkan, dalam penyelesaian sengketa Pemilu dan Pilkada, MK harus berdiri di atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Dalam penyelesaian sengketa, tidak hanya berkutat pada polemik hasil suara.  

‎Tetapi jauh dari itu, MK mesti melihat proses integritas pelaksanaan Pilkada secara keseluruhan, sehingga sampai pada hasil dan perolehan suara. ‎"MK tidak bisa hanya menguji dalam rekapitulasi sehingga MK harus lebih melihat materil. Muncul keputusan tidak hanya soal suara tapi kepada proses pemilu itu berjalan," kata Fadli. ‎

Fadil meminta MK menekankan penyelesaian hasil sengketa pada persoalan substansi, bukan hanya permasalahan angka dan suara.

Menurut dia, MK ‎perlu memperhatikan setiap permohonan yang masuk, agar diperiksa secara detail sebelum diambil putusan apakah permohonan tersebut tidak dapat diterima, atau dapat dilanjutkan ke pemeriksaan pada tingkat pembuktian.
‎
"Dengan menggali persoalan substantif, MK akan lebih bisa melihat integritas pelaksanaan Pilkada secara keseluruhan," pungkas Fadil. ‎

Ketua MK Arief Hidayat mengatakan sejak membuka pendaftaran permohonan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (PHPK) sampai 26 Desember 2015, pihaknya telah menerima 147 pendaftaran permohonan dari 132 daerah.

Sebanyak 128 perkara di antaranya diajukan pasangan calon bupati, 11 perkara diajukan pasangan calon wali kota, 6 perkara dimohonkan pasangan gubernur, dan 1 perkara disengketakan oleh pemantau untuk pilkada dengan calon tunggal di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.‎

"Dan 1 perkara yang bukan pasangan calon kepala daerah, yaitu PHPKda Kabupaten Boven Digoel, Papua," beber Arief.

Arief menjelaskan, dari 147 pendaftaran itu, ada 12 daerah yang hasil pemilihannya dipersoalkan oleh lebih dar‎i satu pasangan calon. 3 Di antaranya digugat 3 pasangan calon, yakni PHPK ada Kabupaten Humbang Hasundutan (Sumatera Utara), dan Kabupaten Nabire (Papua).

‎Sedangkan daerah yang dimohonkan oleh 2 pasangan calon adalah Kabupaten Banggai (Sulawesi Tengah), Kabupaten Teluk Bintuni dan Kabupaten Kaimana (Papua Barat), Kabupaten Boven Digoel (Papua), Kabupaten Halmahera Barat (Maluku Utara), Kabupaten Maluku Barat Daya (Maluku), Kabupaten Pemalang (Jawa Tengah), Kota Gorontalo (Gorontalo), dan Kota Tangerang Selatan (Banten).

Arief menjelaskan lebih jauh, bahwa sejak 2008 hingga 2014, MK sudah menangani 698 PHPK. ‎Rinciannya 68 perkara dikabulkan, 456 ditolak, 153 tidak dapat diterima, dan 21 ditarik kembali.

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya