Liputan6.com, Jakarta - Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) akan 'berkompetisi' dengan National Aeronautics and Space Administration (NASA) untuk meneliti korona matahari. Peneliti dari kedua lembaga mengukur temperatur lapisan terluar matahari ketika gerhana matahari total terjadi.
Pantauan Liputan6.com, Rabu (9/3/2016), 2 teleskop milik Lapan dan NASA sudah berdiri di Pendopo Maba, Kota Maba, Halmahera Timur. Para peneliti sibuk mengatur instrumen yang akan mereka gunakan untuk merekam gerhana.
Peneliti Lapan Manuel Sungging Mumpuni menyebutkan lembaganya akan memanfaatkan jendela waktu pengamatan selama 3 menit untuk memotret korona. Cahaya korona dicacah menjadi berbagai warna menggunakan spektograf sebelum jatuh ke kamera. Bias sinar korona itulah yang kemudian menjadi petunjuk peneliti Lapan untuk menentukan elemen-elemen yang menyusun korona matahari.
"Kami bisa mengetahui temperatur korona setelah mengetahui komposisi ini," katanya ketika ditemui di Pendopo Kota Maba.
Korona merupakan lapisan paling luar yang menyelubungi matahari. Lapisan ini tersusun atas ion-ion yang terperangkap oleh medan magnetik matahari. Gabungan ion dan medan magnetik ini lazim disebut sebagai plasma. Plasma sendiri merupakan fasa benda keempat setelah padat, cair, dan gas. Suhu korona diketahui mencapai 1 juta Kelvin.
Baca Juga
Korona hanya bisa dilihat saat gerhana matahari total. Penampakannya seperti pendaran cahaya yang keluar dari piringan gelap matahari. Keindahan itu membuat lapisan ini diberi nama korona atau mahkota matahari.
Sungging mengatakan, Lapan mendedikasikan 2 teleskop untuk penelitian korona di. Lapan juga memilih Maba karena kota ini merupakan daerah dengan durasi totalitas terlama di Indonesia. Di daerah ini, matahari akan tertutup bulan selama 3 menit 20 detik. Menurut dia, semakin lama waktu totalitas gerhana maka semakin banyak data korona yang bisa diambil.
Pemotretan korona sendiri, menurut Sungging, bukan hal yang mudah. Musababnya, dibutuhkan langit yang benar-benar cerah untuk bisa menguraikan cahaya korona. Faktor lain yang menentukan adalah tingkat kecerahan korona. Peneliti harus benar-benar bisa memutuskan lama waktu bukaan kamera agar melihat korona dengan jelas.
Metode penentuan komposisi kimia yang dikerjakan Lapan akan bersaing dengan metode pengukuran intensitas korona yang dilakukan NASA. Lembaga penelitian asal Amerika Serikat ini menghitung intensitas 2 bagian korona.
"Ada bagian spektrum korona yang belum bersesuaian dengan model yang dikembangkan ahli astronomi," ujar peneliti NASA Nelson Reginald.
Ilmuwan membagi korona menjadi 2 yaitu K dan F. Korona-K merupakan jenis korona yang sinarnya berasal dari elektron di sekitar matahari. Hamburan inilah yang membuat korona ini terpolarisasi. Adapun korona-F merupakan jenis korona selain korona-K.
Saat gerhana matahari total nanti, teleskop NASA di Maba akan diarahkan untuk menangkap cahaya dari korona-K. Caranya, dengan menapis cahaya seluruh korona dengan lensa polarisasi. Sinar korona-K yang terdiri atas 2 sumbu akan jatuh ke kamera. Sedangkan sinar korona-F yang tak bisa terpolarisasi akan tertahan di lensa.
"Kami untuk pertama kalinya menggunakan lensa polarisasi dalam penelitian ini," ujar Nelson.
Terkait 'kompetisi' yang terjadi antara 2 lembaga penelitian ini, Sungging menyebutnya sebagai hal yang biasa. Menurut dia, yang terjadi sebenarnya adalah ilmuwan menggunakan 2 pendekatan berbeda untuk menyibak rahasia temperatur korona matahari.
*** Saksikan Live Gerhana Matahari Total, Rabu 9 Maret 2016 di Liputan6.com, SCTV dan Indosiar pukul 06.00-09.00 WIB. Klik di tautan ini.