Liputan6.com, Jakarta Tindak kekerasan seksual yang dilakukan dokter residen Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Padjadjaran (Unpad) menambah catatan hitam di dunia pendidikan kedokteran.
Dokter berinisial PAP membius pendamping pasien di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin (RSHS) Bandung kemudian melakukan tindakan asusila.
Menanggapi kasus ini, Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono, menilai penting untuk melaksanakan tes Minnesota Multiphasic Personality Inventory alias MMPI.
Advertisement
Melansir Verywell Mind, MMPI adalah alat penilaian klinis yang digunakan oleh profesional kesehatan mental untuk membantu mendiagnosis gangguan kesehatan mental seseorang.
“Nanti akan ada cek namanya MMPI, MMPI ini pemeriksaan kesehatan jiwa terlebih lagi untuk yang menggunakan obat-obat bius seperti program anestesi. Tentu ini akan kerja sama dengan kolegium pendidikan anestesi,” kata Dante usai lakukan Cek Kesehatan Gratis (CKG) di Puskesmas Kelapa Gading, Jakarta (10/4/2025).
Lantas, apakah MMPI cukup untuk mendeteksi kelainan seksual calon dokter spesialis?
Menurut konselor dan seks edukator dari Asosiasi Seksologi Indonesia, Febrizky Yahya, MMPI tidak spesifik mengukur penyimpangan seksual.
“Sebetulnya MMPI bertujuan mengukur adanya gangguan kejiwaan. Namun, tidak secara spesifik mengukur penyimpangan seksual,” jelas konselor yang akrab disapa Eby kepada Health Liputan6.com, Kamis (10/4/2025).
Yang jelas, sambungnya, sebagian pelaku penyimpangan seksual menunjukan skor signifikan psikopatologi (kondisi kejiwaan di mana seseorang kekurangan empati), sehingga tidak merasa bersalah saat melakukan perbuatan merugikan orang lain.
Mirip Kelainan Seksual Sleeping Beauty Syndrome
Kasus kekerasan seksual yang dilakukan dokter PPDS Unpad berinisial PAP ini mengingatkannya pada sleeping beauty syndrome.
Sleeping beauty syndrome atau somnophilia adalah penyimpangan seksual yang membuat pengidapnya terangsang dan ingin berhubungan intim pada seseorang yang tidak sadar dan tidak mampu memberikan respons.
Eby melihat beberapa kesamaan antara PAP sebagai pelaku tindak kekerasan seksual dengan kelainan seksual tersebut.
“Jika hanya dilihat dari modusnya, PAP menggunakan obat bius untuk membuat korban dalam kondisi tidak sadar dan melakukan kekerasan seksual sama seperti pengidap somnophilia lainnya,” kata Eby.
Advertisement
Diagnosis Sleeping Beauty Syndrome Harus Dilakukan Ahli
Eby menekankan wajib mengetahui motif pelaku. Pasalnya, dari motif ini akan ketahuan apakah pelaku termasuk pengidap somnophilia atau pelaku kekerasan seksual biasa.
“Yang membedakan apakah PAP ini termasuk somnophilia atau pelaku kekerasan seksual biasa adalah motifnya," kata Eby.
"Jika PAP membius korban dikarenakan ia mendapat akses bebas pada obat bius dan membuat korban tidak bisa melawan atau menyadari adanya kekerasan seksual yang terjadi sehingga perbuatannya tidak ketahuan, maka PAP tidak dapat dikategorikan somnophilia.”
“Namun, jika motifnya adalah sengaja membuat korban tidak sadar khusus untuk membuat dirinya terangsang, maka bisa jadi ia somnophilia atau sleeping beauty syndrome," imbuhnya.
Eby menegaskan penegakan diagnosa harus dengan pemeriksaan oleh profesional di bidangnya.
"Sekali lagi, (penegakan diagnosis) harus dengan pemeriksaan intensif oleh psikiater dan psikolog,” ujarnya.
PPDS Harus Sehat Rohani dan Jasmani
Terlepas dari dugaan kelainan seksual, Dante Saksono menilai MMPI diperlukan agar residen PPDS tidak hanya pintar tapi juga sehat secara rohani dan jasmani.
“Pencegahannya adalah melakukan tes MMPI, tes mental untuk peserta pendidikan (dokter spesialis). Tidak hanya mereka pintar, tapi mereka juga sehat secara jasmani dan rohani supaya mereka bisa menjalankan tugas dokter yang mulia itu,” harap Dante.
Dengan mental yang sehat, sambungnya, para dokter bisa menangani masyarakat dengan hati.
“Menangani masyarakat dari dalam hati dan tidak menyalahgunakan wewenang sesuai dengan janji kedokteran,” tutupnya.
Advertisement
