Liputan6.com, Jakarta - Ekonom sudah memperingatkan bahwa perang dagang yang dilancarkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kemungkinan akan lebih merugikan warga AS sendiri daripada negara lain mana pun.
Dalam perang ini, Trump memungut pajak atas semua impor menyebabkan biaya yang lebih besar bagi bisnis AS, yang kemudian akan menaikkan harga bagi konsumen AS. Langkah ini mungkin akan membawa AS ke dalam penurunan ekonomi yang berkelanjutan hingga resesi.
Baca Juga
"Akan sulit bagi AS untuk menghindari resesi jika tarif tetap pada tingkat yang telah diumumkan," jelas kepala ekonom New Century Advisors Claudia Sahm dikutip dari TIME, Jumat (11/4/2025).
Advertisement
"Yang paling dirugikan dari ini jelas AS sendiri," kata asisten profesor Sekolah Ekonomi di Singapore Management University Yuan Mei.
Tentu saja, hal ini akan memberikan efek berantai ke seluruh dunia. Minggu lalu, J.P. Morgan menaikkan potensi ekonomi global bakal masuk resesi pada akhir tahun dari 40% menjadi 60%.
Profesor Ilmu Politik Universitas Nasional Singapura dan peneliti nonresiden Carnegie China Ja-Ian Chong menjelaskan, meskipun tujuan Trump untuk apa yang disebut tarif "timbal balik" adalah untuk meningkatkan manufaktur AS, dampak sebenarnya mungkin adalah peredaman permintaan dan produksi global, baik di AS maupun di seluruh dunia.
Â
Â
PHK
Yang pasti, produsen dan importir AS akan menjadi yang pertama merasakan dampaknya, menurut Kristina Fong, seorang peneliti urusan ekonomi di Pusat Studi ASEAN, lembaga pemikir yang berbasis di Singapura, ISEAS-Yusof Ishak Institute.
Jika importir AS memilih untuk menyerap biaya tarif, profitabilitas mereka menurun. Fong mengatakan hal itu dapat menyebabkan perubahan dalam struktur biaya bisnis, seperti perampingan operasi dan pemutusan hubungan kerja.
Namun, jika importir membebankan sebagian atau seluruh biaya tarif kepada konsumen, yang kemungkinan besar terjadi, konsumen akan memperketat kebiasaan belanja mereka.
Dampaknya akan terjadi penurunan permintaan dan juga berpotensi mengakibatkan PHK. "Pada dasarnya, Anda akan terdampak dalam beberapa hal, dari sudut pandang mana pun," kata Fong.
Sebagian besar produk tidak dibuat dan dirakit dari awal hingga akhir di satu negara. Produk yang diberi label "buatan AS" atau "buatan China" mungkin masih menggunakan komponen yang diimpor dari negara lain.
Jika permintaan di AS menurun, permintaan barang-barang yang dirakit di AS dan permintaan komponen yang digunakan untuk merakit barang-barang di AS juga akan menurun.
Membalas Trump
"Bagi negara-negara yang mungkin memutuskan ingin membalas tarif AS, seperti China, impor AS ke negara-negara tersebut akan mengikuti proses paralel di mana permintaan untuk produk AS, yang mungkin telah dirakit menggunakan komponen yang dibuat di tempat lain, akan menurun," kata Chong.
Produsen kemudian akan menyesuaikan diri dengan mempekerjakan lebih sedikit orang atau memesan lebih sedikit komponen yang akan berdampak pada pabrik-pabrik di seluruh dunia yang membuat komponen tersebut.
Advertisement
Dampak di Luar China
Selama masa jabatan pertama Trump, ketegangan perdagangan antara AS dan China mendorong perusahaan yang berlokasi di China yang masih ingin menjual barang ke AS untuk pindah ke bagian lain dunia.
Asia Tenggara (ASEAN), khususnya, mendapat manfaat signifikan dari relokasi tersebut, dan konsumen AS tidak merasakan beban yang terlalu besar pada dompet mereka.
"Namun, kali ini akan ada dampak yang lebih luas mengingat pungutan yang diumumkan Trump di hampir setiap negara di dunia," kata Fong.
"Peluang untuk mengesampingkan atau menghindari tarif ini berkurang karena semua orang terkena dampaknya," tambah dia.
Negara-negara seperti Vietnam, Kamboja, dan Bangladesh, yang masing-masing terkena tarif sebesar 46%, 49%, dan 37%, akan sangat merasakan dampaknya karena mereka adalah pusat manufaktur utama dan mengekspor barang dalam jumlah besar ke AS.
Bagi negara-negara ini, kehilangan pangsa pasar di AS kemungkinan akan berdampak buruk pada ekonomi lokal. Misalnya, pembeli AS telah mulai menghentikan pesanan dari Bangladesh, yang tahun lalu mengekspor barang-barang pakaian senilai USD 7,34 miliar ke AS, tujuan ekspor utamanya.
Sektor pakaian Bangladesh mempekerjakan sekitar 4 juta pekerja.
Vietnam, yang memproduksi 50% alas kaki Nike dan 39% alas kaki Adidas, juga berisiko. OCBC memperkirakan negara itu dapat kehilangan sebanyak 40% dari total ekspor barangnya sebagai akibat dari tarif yang tinggi, yang dapat menyebabkan beberapa perusahaan merelokasi produksi mereka keluar dari Vietnam atau membuat perusahaan lain tidak berinvestasi di negara tersebut.
Â
