Pantang Menyerah: Mbah Susur, Nenek Pedagang Sebatang Kara di GBK

Mbah Susur bertekad menghidupi dirinya sendiri tanpa mengharap belas kasihan.

oleh Liputan6 diperbarui 25 Mar 2016, 14:32 WIB
Diterbitkan 25 Mar 2016, 14:32 WIB
Pantang Menyerah: Mbah Susur, Nenek Sebatang Kara Penjual di GBK
Mbah Susur, bertekad menghidupi dirinya sendiri tanpa mengharap belas kasihan.

Liputan6.com, Jakarta - Panas udara Jakarta siang itu membuat seorang nenek terkantuk-kantuk. Dua orang pengunjung Gelora Bung Karno (GBK) dengan sungkan membangunkan sang nenek untuk membeli dagangannya. Alhamdulillah, ada rezeki yang menghampiri.

Tak banyak yang dijual Sukiyem, nenek 86 tahun yang biasa dipanggil Mbah Susur ini. Hanya buah-buahan dan minuman kemasan. Tapi, ini caranya bertahan hidup sebatang kara di Jakarta.

Berjalan kaki 2,5 kilometer adalah ritual pagi Mbah Susur. Dengan tertatih-tatih kaki tuanya menyeberangi rel kereta menuju Pasar Palmerah.

Geliat pagi Jakarta menyambut Mbah Susur yang mengawali rutinitasnya, memilih barang dagangan untuk dijual.

Si mbah memang akrab dengan pasar, karena ia sempat berjualan sayur di Kali Pasir Kwitang, Jakarta Pusat, di tahun 58. Ia pun sempat merasakan program pemerintah.

Masuk dalam kamusnya, meski telah 4 kali menikah dan tak dikaruniai anak, Mbah Susur bertekad menghidupi dirinya sendiri tanpa mengharap belas kasihan.

Nama Mbah Susur diberikan karena kebiasaannya memakai sirih atau susur.

Setahun sekali Mbah Susur pulang ke kampung halamannya di Salatiga, Jawa Tengah. Tapi jika uang belum terkumpul, saat sakit pun ia tetap berdagang.

Untuk mengisi kesepian, nenek humoris ini kerap bercanda dengan petugas Gelora Bung Karno, tempat ia berdagang dan tinggal sejak tahun 90-an.

Di usia tuanya, Mbah Susur masih bertekad untuk terus melangkah menghadapi setiap rintangan.

Saksikan kisah Mbah Susur selengkapnya dalam Pantang Menyerah yang ditayangkan Liputan 6 Siang SCTV, Jumat (25/3/2016), di bawah ini

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya