Liputan6.com, Jakarta - Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah menyambut baik keputusan Presiden Prabowo Subianto yang meminta para pengusaha untuk melakukan reformasi atas kebijakan impor, khususnya yang menyangkut hajat hidup orang banyak, yakni menghapus kebijakan kuota impor.
Ketua DPP PDIP itu menyoroti, telah banyak penyalahgunaan kewenangan bermula dari pelaksanaan kebijakan kuota impor, seperti kasus kuota impor beras tahun 2007, kasus kuota impor daging sapi tahun 2013, kasus kuota impor gula kristal tahun 2015, kasus kuota impor bawang putih tahun 2019.
Baca Juga
"Atas pentingnya perubahan kebijakan impor ini, pada tanggal 17 Maret 2024 kami kembali mendorong pemerintah untuk mengubah kebijakan impor dari sistem kuota menjadi pengenaan tarif," kata Said dalam keterangannya, Rabu (9/4/2025).
Advertisement
Menurut Said, adanya kebijakan tarif oleh Presiden AS Donald Trump direspons baik Prabowo Subianto dengan cara mendengar aspirasi para pengusaha.
"Saat bertemu dengan para pengusaha pada Selasa, 8 April 2025 kemarin, Presiden Prabowo memerintahkan agar menghapus kebijakan kuota impor untuk barang barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Arahan Presiden Prabowo ini tentu menjadi angin segar bagi perbaikan kebijakan impor. Momentum ini juga bisa menjadi reformasi menyeluruh atas kebijakan perdagangan internasional Indonesia," kata Said.
Menurut Said, ada beberapa langkah reformasi, pertama secara makro, kebijakan impor harus mempertimbangkan trade balance agar neraca perdagangan tetap surplus. Langkah ini sekaligus untuk menjaga agar cadangan devisa tetap terjaga dengan baik. Kebijakan tarif yang dilakukan oleh Presiden Trump saat ini salah satu tujuannya adalah menjaga agar neraca perdagangan mereka tidak defisit kian mendalam.
"Kedua, Kebijakan impor hendaknya diletakkan sebagai barang substitusi sementara waktu, karena ketiadaannya di dalam negeri. Namun ke depannya Indonesia mampu memenuhi kebutuhan atas barang barang impor dengan produksi sendiri, dengan arah strategisnya kita bisa menjadi negara yang relatif mandiri, setidaknya dari sektor primer, yakni pangan dan energi," beber Said.
Perkuat Industri Nasional
Ketiga, Said menilai kebijakan impor harus mempertimbangkan arah kebijakan lain untuk memperkuat industri nasional, dengan arah strategis semakin upaya memperkuat Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) yang semakin besar porsinya.
"Kita harus belajar dari tergerusnya produk tekstil nasional karena banjirnya produk impor tidak terulang, apalagi terjadi di sektor sektor lainnya," kata dia.
Empat, makin kompleksnya kebutuhan terhadap produk barang dan jasa, serta kait mengait dari rantai pasok, hendaknya pemerintah dan pelaku usaha tidak menyandarkan kebutuhan impor barang dan jasa dari negara tertentu.
"Akan tetapi perlu memperluas dari beberapa negara, sehingga pemerintah dan pelaku usaha memiliki berbagai alternatif negara tujuan impor. Langkah ini untuk menghindari ketergantungan impor terhadap negara tertentu," ungkapnya.
Kelima, lanjutnya, deregulasi kebijakan impor, khususnya dari sektor pangan dan energi kita harapkan mempermudah akses rakyat terhadap komoditas tersebut, tetapi juga tingkat harga yang lebih terjangkau, sehingga barang impor yang menjadi public good tidak menjadi beban ekonomi rakyat dan fiskal pemerintah.
"Enam, Indonesia telah meratifikasi perjanjian Free Trade Agreement (FTA) setidaknya dengan 18 negara dengan berbagai skema, baik bilateral, regional maupun multilateral. Skema FTA ini harus mampu meningkatkan Revealed Comparative Advantage (RCA) barang barang Indonesia, dengan demikian manfaat kita meratifikasi FTA memberi manfaat scale up perekonomian nasional," pungkasnya.
Advertisement
