Liputan6.com, Jakarta - Suratmi, istri Siyono yang diduga tewas di tangan Densus 88 Antiteror berusaha mencari keadilan. Ibu 5 anak itu tetap ingin mengautopsi jenazah suaminya dan menolak 2 gepokan uang, yang diberikan sebagai uang duka.
Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan, Suratmi datang ke kantor PP Muhammadiyah meminta perlindungan dan dukungan hukum, selama mencari keadilan terhadap kematian suaminya.
Pada saat yang sama, Suratmi juga menyerahkan 2 gepokan uang kepada PP Muhammadiyah, sebagai bentuk penolakan uang duka tersebut.
"Muhammadiyah mengiyakan dan bersedia mendampingi Bu Suratmi dalam proses mencari keadilan. Ketika bertemu Senin lalu, Bu Suratmi juga membawa 2 gepok diduga uang yang diserahkan pihak ketiga ke Bu Suratmi," kata Dahnil di Kantor PP Muhammadiyah, Jakarta Pusat, Jumat 1 April kemarin.
"Belakangan diakui juga, pihak polisi melalui Kapolri sebagai uang duka dari kepolisian," sambung dia.
Dahnil memastikan, uang itu masih terbungkus rapi di kantor Muhammadiyah dan belum dibuka. Sehingga, tidak ada yang tahu berapa jumlah uang yang ada di dalamnya.
"Saya tidak mau terima uang itu. Yang saya butuhkan mencari keadilan," imbuh Dahnil menirukan jawaban Suratmi.
Setelah menyanggupi pendampingan terhadap Suratmi, Muhammadiyah langsung menyiapkan 6 dokter forensik terbaik yang dimiliki organisasi Islam itu, untuk mengautopsi Siyono.
"6 Dokter ahli forensik dari Universitas Muhammadiyah, dan Rumah Sakit Muhammadiyah di Jawa Tengah dan Yogyakarta," jelas dia.
Sebelum mendatangi kantor Muhammadiyah, Suratmi rupanya sudah mendapat pendampingan dari Komnas HAM, yang kemudian menginvestigasi tahap awal dan memutuskan untuk tetap mengautopsi jenazah Siyono, sesuai permintaan keluarga.
"Autopsi yang akan dilakukan Komnas HAM atas permintaan keluarga dan itu hak keluarga. Prespektif HAM nya siapa pun warga Indonesia yang keluarga meninggal, berhak mengetahui sebab keluarganya meninggal," kata Komisioner Komnas HAM Manajer Nasution.
Baca Juga
Komnas HAM berkoordinasi dengan tim penasihat hukum dari Muhammadiyah, untuk melaksanakan autopsi. Hasilnya akan menjadi salah satu fakta, data, dan informasi, untuk membuat rekomendasi sesuai kewenangan mereka.
"Kalau hasilnya secara wajar, nama negara bersih. Kalau hasil nya ada penganiayaan oleh Densus 88, maka semakin jelas melakukan rekomendasi untuk menyelesaian kasus ini," pungkas Manajer.
Siyono ditangkap Densus 88/Antiteror Polri di Dusun Brengkuan, Desa Pogung, Kecamatan Cawas, Klaten, Jawa Tengah, Rabu 9 Maret 2016. Bahkan, kediamannya yang digunakan untuk ‎TK Roudatul Athfal Terpadu (RAT) Amanah Ummah ikut digerebek polisi.
Akibat penggerebekan ini, puluhan anak TK menangis ketakutan, sehingga kegiatan belajar mengajar terpaksa dihentikan dan murid dipulangkan.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Agus Rianto mengatakan, penangkapan Siyono merupakan pengembangan dari terduga sebelumnya, inisial T alias AW, karena membawa senjata api dan setelah diperiksa dia mengaku senjata api sudah diserahkan ke orang lain.
Siyono saat itu dibawa 2 anggota Densus untuk menunjukan lokasi penyimpanan senjata api. Terduga teroris itu diantar berkeliling menggunakan mobil ke daerah Tawangsari, Klaten.
Awalnya, Siyono bersikap kooperatif dan menunjuk sejumlah lokasi tempat persembunyian senjata tersebut. Tetapi, ketika petugas membuka penutup mata dan borgol, dia balik menyerang. Pergumulan antarkeduanya pun tak terhindarkan.
Saat pergumulan itu, polisi berupaya melumpuhkan Siyono dan pingsan, setelah terkena benturan sudut mobil di bagian kepala. 2 Anggota Densus yang mengawal langsung melarikan ke Rumah Sakit Bhayangkara Yogyakarta. Namun ketika tiba di rumah sakit, nyawa dia tidak terselamatkan.