Liputan6.com, Jakarta - Ketua Komisi D DPRD DKI, Mohamad Sanusi diduga menerima suap dari pihak PT Agung Podomoro Land (APL). Tak tanggung-tanggung, dia ditengarai menerima uang Rp 2 miliar‎ terkait pengurusan Raperda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RWZP3K) Provinsi Jakarta dan Raperda tentang Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun akan ‎menelusuri dugaan Sanusi menerima uang dari pihak selain PT APL. "Itu salah satu yang sedang diteliti," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarief dalam pesan singkatnya, Rabu (6/4/2016).
Oleh karena itu, KPK akan memeriksa pihak-pihak lain yang terkait dengan kasus tersebut. Baik itu dari perusahaan, Badan Legislasi Daerah (Balegda) DKI Jakarta, maupun dari pihak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
"Semua yang relevan akan dimintai keterangan," kata Laode.
Advertisement
Baca Juga
Sebelumnya, KPK menetapkan 3 orang sebagai tersangka kasus dugaan suap Raperda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RWZP3K) Provinsi Jakarta dan Raperda tentang Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.‎
Mereka adalah Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Mohammad Sanusi, Personal Assistant PT APL Trinanda Prihantoro, dan Presiden Direktur PT APL Ariesman Widjaja.
Sanusi diduga menerima suap sebesar Rp 2 miliar‎ dari PT APL terkait dengan pembahasan Raperda RWZP3K dan Raperda RTR Kawasan Pesisir Pantai Utara Jakarta oleh DPRD DKI. Di mana kedua raperda itu sudah 3 kali ditunda pembahasannya di tingkat rapat paripurna.
Pembahasan itu mandeg, salah satunya, lantaran para perusahaan pengembang enggan membayar kewajiban 15 persen dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) atas setiap pembuatan pulau kepada pemerintah. Kewajiban itu yang menjadi salah satu poin dalam draf Raperda RTR Kawasan Pesisir Pantai Utara Jakarta.
Para perusahaan ngotot menginginkan hanya 5 persen dari NJOP yang dibayarkan ke pemerintah. Ditengarai terjadi tarik-menarik yang alot antara perusahaan dan pembuat undang-undang mengenai hal itu sebelum raperda itu disahkan menjadi perda.
Adapun selaku penerima, Sanusi dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP.
‎Sedangkan Ariesman dan Trinanda selaku pemberi dikenakan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat 1 KUHP‎.