Kartini dan Pemuda Bernama Agus Salim

Pendidikan Kartini terhenti ketika menginjak usia 12 tahun. Dia dipingit.

oleh Mevi Linawati diperbarui 21 Apr 2016, 08:54 WIB
Diterbitkan 21 Apr 2016, 08:54 WIB
20160421-Kartini
Raden Ajeng Kartini.

Liputan6.com, Jakarta - Kartini dikenal sebagai pejuang emansipasi wanita. Semangat belajarnya tinggi dan perhatiannya kepada dunia pendidikan, khususnya kaum perempuan, tidak diragukan lagi.

Perempuan yang lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879 itu berasal dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa. Ia merupakan putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, Bupati Jepara di Jawa Tengah.

Berasal dari kalangan bangsawan, Kartini diperbolehkan sekolah di Europese Lagere School. Di sekolah tersebut, dia belajar bahasa Belanda. Namun pendidikannya terpaksa terhenti ketika menginjak usia 12 tahun.

Dia harus tinggal di rumah karena dipingit. Adat istiadat kala itu, dia diharuskan menunggu lelaki yang kelak datang untuk melamarnya.

Karena Kartini bisa menulis dan berbahasa Belanda, di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Banyak bacaan yang dia lahap sambil terus berkorespondensi.

Salah satunya, Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari surat menyurat dengan Abendanon, Kartini sering membaca buku-buku dan koran Eropa.

Timbul keinginannya memajukan perempuan pribumi. Ia melihat banyak perempuan di Tanah Air dengan status sosial lebih rendah darinya, tidak bisa mengecap pendidikan.

Kartini sering juga mengirimkan beberapa tulisan, salah satunya kepada majalah wanita Belanda yang ia baca, yaitu De Hollandsche Lelie.

Beasiswa Agus Salim

Dalam masa pingitan, Kartini membuka sekolah bagi anak-anak perempuan yang tinggal di sekitar kediamannya. Mereka tidak seberuntung dirinya. Kartini mengajari gadis-gadis itu membaca, berhitung, menyanyi dan aneka keterampilan layaknya yang biasa didapatkan di sekolah.

Keinginannya untuk menempuh pendidikan sangat kuat. Dia ingin ke Belanda. Peluangnya mengecap pendidikan di Belanda sempat terbuka setelah perkenalannya dengan Jacques Henrij Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama, dan Industri Hindia Belanda. JH Abendanon sempat menjanjikan beasiswa bagi Kartini dan saudara-saudaranya untuk belajar ke Belanda.

Hingga kemudian, surat dari Belanda yang ditunggu Kartini datang dan mengabulkan permohonannya. Beasiswa telah tersedia untuknya. Setelah berbagai pertimbangan, dia membatalkan beasiswa tersebut.

Sementara di sisi lain ada seorang pemuda cerdas yang sangat membutuhkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya. Pemuda itu bernama Agus Salim, dari Sumatera Barat. Agus Salim kini dikenal sebagai salah seorang pahlawan. Dia juga merupakan pemimpin Sarekat Islam.

Ia lalu mengirimkan surat ke Abendanon, istri pejabat yang menentukan pemberian beasiswa pemerintah pada Kartini di Belanda dan memohon agar beasiswa itu diberikan kepada Agus Salim. Agus Salim saat itu sedang berusaha mendapatkan beasiswa ke Belanda.

Tetapi, semua usaha yang dilakukan itu gagal. Hingga kemudian kabar itu terdengar Kartini. Dia berharap, uang beasiswa sebesar 4.800 gulden bisa dialihkan untuk Agus Salim.

Berikut secuil surat Kartini tersebut:

"Saya punya suatu permohonan yang penting sekali untuk nyonya, tapi sesungguhnya permohonan itu ditunjukan kepada Tuan (Abendanon). Maukah Nyonya meneruskannya kepadanya? Kami tertarik sekali kepada seorang anak muda, kami ingin melihat dia dikaruniai bahagia. Anak muda itu namanya Salim, dia orang Sumatera asal Riau, yang dalam tahun ini mengikuti ujian penghabisan sekolah menengah HBS, dan ia keluar sebagai juara. Juara pertama dari ketiga-tiga HBS.

Anak muda itu ingin sekali pergi ke Negeri Belanda untuk belajar menjadi dokter. Sayang sekali, keadaan keuangannya tidak memungkinkan. Gaji ayahnya cuma F 150 -sebulan."

Namun, Agus Salim menolak pengalihan beasiswa tersebut. Dia menilai, pemberian itu karena usul orang lain, bukan karena penghargaan atas kecerdasan dan jerih payahnya. Dia menilai ada diskriminasi di dalamnya.

Akhirnya, pada 12 November 1903, Kartini dinikahkan dengan Bupati Rembang KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Sang bupati sudah memiliki istri dan anak. Kartini kemudian diperbolehkan membangun sebuah sekolah wanita.

Selama pernikahannya, Kartini hanya memiliki satu anak yang diberi nama Soesalit Djojoadhiningrat. Kartini mengembuskan napas terakhirnya setelah melahirkan pada usia 25 tahun.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya