Kisah Kehidupan Tuti Penyapu Jalanan Penerima HP dari Ahok

Sudah 17 tahun ia menjadi penyapu jalanan. Kariernya dimulai saat era Gubernur DKI Sutiyoso.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 21 Apr 2016, 08:49 WIB
Diterbitkan 21 Apr 2016, 08:49 WIB
Ahmad Romadoni/Liputan6.com
Tuti, petugas kebersihan di Medan Merdeka Selatan (Ahmad Romadoni/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Mengenakan topi ungu berseragam hijau dari Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta, Maryati tengah sibuk dengan sapu ijuknya. Tuti, begitu ia biasa disapa, membersihkan bekas potongan rumput yang tengah dipangkas rekannya.

Wanita yang merupakan pekerja harian lepas dari Sudin Pertamanan dan Pemakaman Jakarta Pusat itu sempat menjadi buah bibir di Balai Kota DKI Jakarta. Ini menyusul aksinya yang melawan pendemo menginjak rumput taman. Dia pun menjadi perhatian Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok hingga memberikannya hadiah berupa handphone.

Dalam penuturannya, anak kelima dari delapan saudara ini mengaku telah bekerja selama belasan tahun. Pekerjaan itu dijalani setiap hari sebagai penyapu jalanan.

"Namanya sudah 17 tahun bekerja di kebersihan jalanan ini," kata Tuti kepada Liputan6.com di depan taman Balai Kota DKI Jakarta, Rabu (20/4/2016).

Ibu Tuti saat menyapu taman di depan kantor Balai Kota, Jakarta, (24/3). Petugas harian lepas ini sempat memarahi pendemo yang menginjak-injak rumput saat aksi demo supir taksi di Jalan Merdeka Selatan beberapa waktu lalu. (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Dia sudah bekerja menjadi penyapu sejak era Gubernur Sutiyoso. Jalan Veteran atau tepat di belakang Istana Negara sudah menjadi lapaknya pertama kali.

"Awal itu di Jalan Veteran, dari belakang Istana sampai ke Harmoni. Kemudian Masjid Istiqal juga. Bahkan sampai Lapangan Banteng," ujar Tuti yang terus menyapu taman.

Kala itu, ia menerima honor sebesar Rp 3.500 per hari. Nilai tersebut tak masalah baginya lantaran ia ingin membantu ekonomi keluarga.

Tuti menceritakan masa kecilnya saat duduk di bangku SD. Kesulitan dirasakan ketika ia harus membayar uang Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan (SPP) yang sudah menunggak beberapa bulan.

Sambil tersenyum, Ibu Tuti menunjukan ponsel baru miliknya hasil pemberian Gubernur DKI Jakarta, (24/3). Wanita 54 tahun ini mendapatkan hadiah ponsel karena aksinya yang berani memarahi pendemo perusak Balai Kota. (Liputan6.com/Yoppy Renato)

"Dulu waktu mau bayaran (SD) itu udah nunggak 3-4 bulan. Pas minta sama ibu, disuruhnya minta ke bapak. Pas minta ke bapak, disuruh minta ke ibu. Akhirnya dihukum, dijemurlah," cerita Tuti.

Lantaran tak memiliki biaya, dia pun berhenti sekolah dan memutuskan bekerja. Saat itu, ia bekerja sebagai buruh di pabrik permen. Tak betah, Tuti akhirnya pindah menjadi buruh di pabrik pembuat korek api.

"Iya saya sempat di pabrik geretan (korek api) ingat betul saya di sana digaji cuma Rp 7.500 sebulannya," ujar Tuti sambil tertawa.

Berpindah-pindah kerja, Tuti akhirnya memutuskan menjadi pekerja harian lepas di DKI Jakarta. Dia mengaku lebih senang bekerja sebagai penyapu pada era Ahok.

"Era sekarang, zamannya Pak Gubernurnya, Pak Ahok jauh lebih enak. Karena rakyat kecil lebih diperhatikan. Gajinya sudah UMR. Dulu kan enggak. Karena itu saya akan terus jaga taman di DKI ini," ujar Tuti.

"Sebagai wanita, kita jangan mau diam saja. Kita harus terus bekerja. Bekerja itu bukan hanya mencari nafkah, membantu suami di rumah atau merawat keluarga itu juga bekerja," tutur Tuti.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya