Liputan6.com, Jakarta - Max Havelaar terbit kali pertama pada 15 Mei 1860 di Amsterdam, Belanda. Novel ini ditulis Eduard Douwes Dekker di bawah nama pena Multatuli–dari bahasa Latin yang bermakna "aku telah banyak menderita."
Raden Ajeng Kartini juga membaca karya ini. Bahkan, menyukainya. "Max Havelaar aku punya, karena aku sangat, sangat suka Multatuli," tulisnya dalam sebuah surat kepada Estelle Zeehandellar atau Stella, sahabat pena anak bupati Jepara, Raden Mas Ario Sosroningrat, itu.
Max Havelaar memang bukan karya biasa. Novel ini menggegerkan karena menghamparkan kenyataan pahit kehidupan masyarakat Lebak di bawah cengkeraman kolonialisme dan feodalisme. Sebagai mantan asisten residen di Lebak, Douwes Dekker dianggap cakap memotret kondisi penduduk pribumi tertindas.
Advertisement
Baca Juga
Kartini pun mengikuti jejak Multatuli: menulis. Lewat surat-surat, ia menyampaikan pikiran-pikirannya tentang nasib dan kedudukan wanita. Ia sangat serius dalam persoalan menulis dan dampaknya. Dalam sebuah surat, ia menulis, "Aku ingin tulisan-tulisanku memberi kesan tak terlupakan."
Dia doyan membaca sejak kecil. Ia rutin menyimak koran Semarang, De Locomotief. Ia juga menerima paket majalah yang diedarkan toko buku kepada para pelanggan. Di antaranya majalah wanita Belanda, De Hollandsche Lelie. Ketika dipingit selama empat tahun, sebagian besar waktunya habis untuk membaca.
De Hollandsche Lelie pula yang memuat iklan yang dipasangnya. Iklan kecil itu, dimuat pada edisi 15 Maret 1899, bertuliskan: "Raden Ajeng Kartini, putri Bupati Jepara, umur sekian dan seterusnya, ingin berkenalan dengan seorang 'teman pena wanita' untuk saling surat-menyurat. Dia mencari seorang gadis Belanda yang umurnya sebaya dan mempunyai banyak perhatian terhadap zaman modern serta perubahan-perubahan demokrasi yang sedang berkembang di seluruh Eropa."
Menjalin Kontak dengan Stella
Menurut Sitisoemandari Soeroto dalam Kartini: Sebuah Biografi, benak perempuan ningrat itu sesak dengan rasa penasaran. Ia sangat ingin tahu tentang situasi pergerakan perempuan di Eropa. "Apakah benar seperti yang digambarkan dalam buku-buku atau majalah-majalah?" tulis Sitisoemandari mengutip Kartini.
Stella merespons ajakan tersebut. Ia lahir dari keluarga Yahudi di Amsterdam, lima tahun lebih tua ketimbang Kartini, dan seorang feminis. Dalam surat-suratnya dengan Stella, Kartini banyak membahas buku-buku yang dibacanya. Selain Max Havelaar, buku yang diulas panjang lebar oleh Kartini adalah Hilda van Suylenburg karya Goekoop de-Jong Van Beek en Donk (1866-1944).
Roman tersebut berkisah tentang perjuangan wanita menentang kekolotan. Isinya sangat mempengaruhi Kartini. Dia mengaku tiga kali membaca buku tersebut. “Sebetulnya Hilda van Suylenburg tidak termasuk sastra yang bermutu, tapi cerita di buku itu sangat cocok dengan apa yang sedang diperjuangkan Kartini,” tulis Sitisoemandari.
Buku Berthold Meryan karya Cornelie Huygens (1848-1902) juga memikat Kartini. Buku ini membahas masalah sosialisme, perkawinan, dan kedudukan wanita.
Ada sejumlah penulis lain yang mempengaruhi Kartini. Misalnya, Ferdinand August Bebel (1840-1913), seorang sosialis Jerman dan pendiri Partai Sosial Demokrat. Karyanya yang mempengaruhi Kartini adalah De Vrouw en Sosialisme. Buku itu lumayan membantu memberi perspektif sosialis mengenai perempuan kepada Kartini.
Sebagai pembaca yang “rakus,” meski beragama Islam, Kartini juga menekuni buku-buku tentang agama lain. Pilihannya menjadi vegetarian terinspirasi dari ajaran Buddha.
Advertisement