Liputan6.com, Jakarta - Di tengah gelombang modernisasi dan narasi-narasi populer tentang emansipasi, masih banyak sisi kehidupan Raden Ajeng Kartini yang belum sepenuhnya diketahui publik.
Salah satunya adalah relasi spiritualnya dengan ulama besar asal Jawa Tengah, Mbah Sholeh Darat. Hubungan guru-murid ini memberi warna baru dalam memaknai perjuangan RA Kartini.
Kisah ini mencuat dalam ceramah KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang akrab dikenal Gus Baha. Dalam penuturannya, ia menyingkap peran penting Mbah Sholeh Darat dalam membentuk spiritualitas dan semangat intelektual Kartini sebagai perempuan santri.
Advertisement
"Saya pernah baca biografinya Mbah Sholeh Darat. Di antara yang diyakini keluarga besar, Mbah-nya RA Kartini itu ngajinya sama Mbah Sholeh Darat. Makanya Jepara itu seneng santri, karena dulu banyak dari keluarga Kartini yang ngaji ke Mbah Sholeh," ujar Gus Baha dalam satu majelis.
Menurut Gus Baha, budaya belajar agama pada masa itu bukan hanya milik kalangan pesantren saja, tetapi juga merasuk dalam kalangan bangsawan dan pejabat lokal. Saat itu kiai dan pejabat memiliki relasi yang saling mendekatkan diri karena ilmu dan akhlak.
Ceramah Gus Baha yang dirangkum dari tayangan video di kanal YouTube @ghonitv1969 pada Kamis (17/04/2025), tersebut menyajikan penuturan khas Gus Baha yang santai namun berbobot, menyelami sisi sejarah yang selama ini jarang disentuh.
Baca Juga
Simak Video Pilihan Ini:
RA Kartini Terpikat Gaya Penjelasan Mbah Sholeh Darat
Hubungan pejuang emansipasi dan Mbah Sholeh Darat sebenarnya sudah menjadi bagian dari diskursus sejarah Islam di Indonesia. Dikutip dari laman kemenag.go.id, terungkap satu fragmen penting bahwa Kartini adalah santri dari ulama besar tersebut. Mbah Sholeh dikenal sebagai sosok alim yang menulis kitab tafsir berhuruf pegon dan sangat dihormati di Semarang.
Raden Ajeng Kartini yang lahir pada 21 April 1879 di Mayong, Jepara, dikenal sebagai perempuan visioner. Meskipun wafat di usia muda, 25 tahun, Kartini telah menjadi simbol kebangkitan perempuan di Indonesia. Namun di balik ketenaran itu, sedikit yang tahu bahwa ia punya semangat keislaman yang luar biasa.
Salah satu aspek yang jarang diangkat adalah rutinitas Kartini dalam belajar. Ia aktif membaca, berdiskusi melalui surat-menyurat, dan juga rutin mengikuti pengajian Mbah Sholeh Darat di Demak, Kudus, serta Jepara. Semangatnya untuk menuntut ilmu mengalahkan sekat-sekat tradisi feodal.
Menurut KH Imam Taufiq dan Amirul Ulum dalam buku “Kartini Nyantri”, Kartini sangat terpikat oleh gaya penyampaian dan penjelasan Mbah Sholeh yang sederhana namun dalam. Bahkan, dalam pengajiannya, Kartini mendapat hadiah istimewa: tafsir Al-Qur’an berhuruf pegon karya sang kiai.
Informasi ini dikuatkan pula oleh berbagai literatur lain, termasuk buku karya Imron Rosyadi dan edisi biografi Mbah Sholeh Darat yang ditulis Abdullah Salim serta Gus Mohammad Ichwan. Semua buku tersebut menyebut pertemuan dan interaksi antara Kartini dan Mbah Sholeh Darat sebagai bagian penting dari proses belajar spiritual Kartini.
Dalam surat-surat Kartini yang terdokumentasikan dalam buku “Habis Gelap Terbitlah Terang”, disebutkan bahwa Kartini memiliki guru seorang tua yang menulis dalam aksara Arab. Hal ini menguatkan dugaan bahwa guru yang dimaksud adalah Mbah Sholeh Darat yang memang konsisten menulis dalam huruf pegon.
Mbah Sholeh tak hanya mengajar sekali, melainkan rutin memberi pengajian. Dalam pengajian itu, Kartini hadir sebagai santri kalong — santri yang tidak menetap di pesantren tetapi rutin mengikuti pengajian. Ia datang secara pribadi ke Demak atau Kudus hanya untuk menimba ilmu dari sang kiai.
Advertisement
RA Kartini Belajar Huruf Pegon
Ada perbedaan pendapat soal waktu pengajian tersebut. KH Musa Machfudh menyebut pertemuan terjadi pada 1901, sementara Amirul Ulum menyebut sebelum 1892, tahun di mana Kartini mulai dipingit. Namun, keduanya sepakat bahwa Kartini belajar langsung kepada Mbah Sholeh.
Salah satu momen penting adalah saat Kartini mulai belajar huruf Arab pegon melalui pretilan-pretilan kertas tulisan tangan dari Mbah Sholeh Darat. Dari sinilah Kartini memahami isi kandungan Al-Qur’an, tidak hanya sekadar membaca lafaznya.
Kartini memang dikenal cerdas. Ia menguasai bahasa Belanda, Prancis, dan Inggris. Maka tidak sulit baginya menyerap pelajaran dari Mbah Sholeh. Kartini bahkan termasuk santri yang kritis. Ia pernah berkata bahwa di usia 12 tahun sudah berani bersuara melawan penjajahan.
Namun ada masa ketika Kartini merasa belajar Al-Qur’an menjadi hampa. Ia menilai pembelajaran hanya mengeja huruf tanpa memahami makna. Inilah yang membuatnya resah. Ia ingin tahu arti dari ayat-ayat yang dibaca dan bukan hanya menghafalkannya.
Kegelisahan itu dituangkan dalam suratnya kepada sahabat pena, Stella EH Zeehandelaar. Dalam surat tertanggal 6 November 1899 itu, Kartini menyayangkan cara belajar agama yang hanya menekankan pelafalan tanpa memahami isi.
“Saya menganggap itu pekerjaan gil, mengajari orang membaca tanpa mengajarkan makna yang dibacanya,” tulis Kartini dengan nada protes yang kuat.
Ungkapan ini menjadi kritik tajam terhadap sistem pendidikan agama kala itu. Di sisi lain, menunjukkan betapa Kartini memiliki keinginan kuat untuk memahami Islam secara substansial, bukan sekadar simbolik.
Tidak heran jika kemudian Mbah Sholeh Darat memberikan tafsir pegon sebagai hadiah, agar Kartini dapat mengakses makna Al-Qur’an dengan bahasanya sendiri. Tafsir ini menjadi jembatan spiritual Kartini yang selama ini tersembunyi dari riwayat sejarah.
Melalui kisah ini, menjadi jelas bahwa Kartini bukan hanya tokoh emansipasi perempuan, tetapi juga santri yang haus ilmu. Keberaniannya bukan lahir dari sekadar bacaan Barat, tetapi dari pengajian di teras rumah sang kiai.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul
