Liputan6.com, Jakarta - Jajaran kepolisian belakangan ini gencar menangkap pemakai dan pemilik toko kaus berlogo palu dan arit. Seperti penangkapan pemilik toko di Blok M, Jakarta Selatan pada Minggu 8 Mei 2016 lalu.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menyayangkan penangkapan tersebut. Pengacara Publik LBH Jakarta Alghiffari Aqsa menilai, aparat tidak mempunyai dasar hukum terkait penangkapan ini.
"Ada beberapa prosedur yang harus dilalui aparat dalam melakukan penggeledahan, penyitaan maupun penangkapan," kata Alghiffari dalam jumpa pers di Gedung LBH, Jakarta Pusat, Kamis (12/5/2016).
"Salah satunya yaitu aparat harus menjelaskan siapa dirinya, identitas dirinya kepada orang yang mau digeledah, ataupun orang yang ingin barangnya disita," sambung dia.
Kedua, lanjut Alghiffari, harus ada izin dari pengadilan untuk melakukan penyelidikan dan penggeledahan. Aparat penegak hukum harus menunjukkan terlebih dahulu dasar hukumnya dan tindak pidana apa yang dikenakan.
"Kita lihat dari kasus-kasus yang terjadi, ini tidak dilakukan sama sekali oleh kepolisian," kata dia.
Alghiffari mengatakan, peristiwa serupa tidak hanya terjadi di satu tempat, tetapi juga di beberapa daerah. Sikap anggota kepolisian dan TNI tersebut mengancam demokrasi.
"Bahkan, di tempat lain yang termasuk disita adalah tabloid Berita Nasional dan juga kaos Munir. Kemudian ada kasus seorang anak ditangkap karena membaca buku Mao Tse Tung (Ketua Partai Komunis China). Ini bahaya bagi demokrasi kita," ungkap dia.
Baca Juga
Menurut Alghiffari, mestinya TNI tidak ikut campur dalam menangkap dan menahan seseorang. Karena yang berhak menyita, menangkap, atau menahan hanyalah kepolisian.
"Kita lihat UU TNI 34 Tahun 2004, tidak ada dasar hukum sama sekali TNI melakukan penangkapan dan penahanan warga sipil atas pidana yang dilakukan oleh masyarakat sipil. Tugas TNI adalah mempertahankan kedaulatan dan mempertahankan NKRI dari ancaman luar," jelas dia.
Terkait peristiwa ini, Alghiffari mengimbau, seharusnya Presiden Joko Widodo menegur Panglima TNI bahwa tentara tidak boleh ikut campur.
"Presiden juga harusnya memerintahkan Kapolri tetap pada proses hukum (menyita, menangkap, atau menahan) yang berlaku. Bukan hanya berdasarkan asumsi, isu, atau pun perintah," tandas Alghiffari.
Menggagalkan Kasus '65
Alghiffari meyakini ada pihak-pihak yang tidak senang, dalam penuntasan kasus tragedi 1965. Hal ini menyusul adanya penangkapan terkait logo palu arit, yang mirip lambang Partai Komunis Indonesia (PKI).
"Kami curiga pelanggaran hak berekspresi menjadi alat untuk menutupi penuntasan kasus yang lain. Ada pihak yang tidak senang ada pelurusan sejarah adanya pembantaian satu juta rakyat Indonesia," kata Alghiffari.
"Ini menjadi satu rangkaian sistematis untuk menggagalkan penuntasan kasus 65," sambung dia.
Alghiffari menilai, penangkapan sejumlah pemilik gambar palu arit, bukti nuansa Orde Baru kembali muncul pada era reformasi sekarang ini.
"Dari seluruh rangkaian tersebut, suasana Orde Baru kembali hadir di era reformasi ini. Kita lihat menguatnya kembali militerisme di Indonesia," ujar dia.
Alghiffari menegaskan, militer tak memiliki kewenangan dalam melakukan penangkapan.
"Militer keluar dari baraknya untuk melakukan penangkapan."
"Tentara tak ada kewenangan untuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang-orang yang mempraktekan hak konstitusionalnya untuk berekspresi," tegas dia.
Karena itu, Alghiffari mendesak aparat kepolisian taat peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya tentang implementasi prinsip dan standar hak asasi manusia (HAM), dalam penyelenggaraan tugas kepolisian dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
"Kami mengimbau kepolisian untuk taat kepada KUHAP dan peraturan Kapolri. Mereka melakukan penangkapan harus ada surat, penahanan itu harus ada suratnya," pungkas Alghiffari.
Advertisement
Aparat penegak hukum sebelumnya ramai-ramai menyisir tempat penjualan barang berbau Partai Komunis Indonesia (PKI). Salah satu yang terkena adalah toko yang menjual kaos berlambang palu arit di pusat perbelanjaan Blok M Square dan Blok M Mal yang mirip lambang partai tersebut.
Kaos tersebut kemudian disita aparat TNI-Polri dan penjualnya digiring ke kantor polisi untuk dimintai keterangan. Penjualnya kemudian tidak ditahan. Gambar palu arit di kaus tersebut diambil dari sampul album 'At The Pulse of Kapitulation' milik grup band asal Berlin, Jerman, bernama Kreator.
Sementara, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Awi Setiyono mengatakan, dasar tindakan polisi tersebut adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (Tap MPRS) tahun 1966 yang isinya pembubaran PKI. Sehingga aparat penegak hukum harus peka terhadap potensi makar PKI.
"Masyarakat harus cerdas bahwa PKI adalah partai terlarang sesuai Tap Nomor XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran PKI. Jadi jika aparat langsung merespons hal-hal yang berkaitan dengan PKI, harap mengerti alasan kami," ujar Awi kepada Liputan6.com melalui pesan singkat, Selasa 10 Mei 2016.