MUI: Kemendagri Harus Jelaskan Ribuan Perda yang Dihapus

MUI menyayangkan jika penggunaan istilah intoleran justru diterapkan bagi perda-perda terkait kegiatan keagamaan di suatu daerah.

oleh Nafiysul Qodar diperbarui 22 Jun 2016, 03:06 WIB
Diterbitkan 22 Jun 2016, 03:06 WIB
Ketua MUI Kunjungi Luar Batang
Rencana penggusuran kawasan Luar Batang, Jakarta Utara oleh Pemprov DKI Jakarta turut menjadi perhatian MUI Maruf Amin. (Moch Harun Syah/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menghapus 3.143 peraturan daerah (perda) yang dianggap bermasalah. Penghapusan ribuan perda ini pun menuai polemik. Terlebih sebagian perda yang dihapus berkaitan dengan keyakinan beragama suatu masyarakat.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun mengambil sikap atas penghapusan ribuan perda ini. MUI mendesak agar Kemendagri menjelaskan secara detil kepada masyarakat, perda apa saja yang dihapus dan apa alasannya.

"Banyak pertanyaan atau usulan dari ormas-ormas Islam mengenai isu pencabutan, seperti perda syariah, perda investasi, lalu perda intoleran. Ini yang menjadi krusial. Apalagi jika dikaitkan dengan keharusan umat Islam," ujar Ketua Umum MUI Maruf Amin dalam sebuah diskusi di kantornya, Jakarta Pusat, Selasa 21 Juni 2016.

Maruf meminta Kemendagri menjelaskan soal perda yang bermasalah karena mengandung unsur intoleran. Apalagi penghapusan sejumlah perda yang dianggap bermasalah ini hampir bersamaan dengan razia warteg milik Saeni di ‎Serang, Banten beberapa waktu lalu karena beroperasi di bulan Ramadan.

Aturan yang menjerat Saeni adalah Perda Kota Serang Nomor 2 Tahun ‎2010 yang melarang restoran atau tempat makan beroperasi pada siang hari saat Ramadan. Hal itu dilakukan untuk meningkatkan toleransi antarumat beragama, yakni menghormati umat Islam yang tengah berpuasa.

"Kalau itu betul (pencabutan perda yang melarang warung beroperasi saat puasa) dengan dalih intoleran, itu menjadi masalah besar," tandas dia.

MUI menyayangkan jika penggunaan istilah intoleran justru diterapkan bagi perda-perda terkait kegiatan keagamaan di suatu daerah. Maruf khawatir, penggunaan istilah intoleran justru disalahtafsirkan.

"Kita ingin klarifikasi. Misalnya seperti umat muslim harus berjilbab kemudian dianggap intoleran, supaya umat Islam membaca Alquran dianggap intoleran. Pengertian intoleran seperti ini kan sesat," ucap Maruf.

Menurut dia, selama ini para ulama terus berusaha agar umat ‎Islam patuh kepada pemerintah. Sebab, pemerintah merupakan pemimpin atau ulil amri yang berdasarkan ajaran Islam harus ditaati.

Namun jika pemerintah justru salah tafsir dengan penggunaan istilah intoleran, dan menjadikannya ‎sebagai dasar penghapusan perda tertentu, Maruf khawatir, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah akan luntur.

"Kalau itu terjadi, masyarakat tidak akan patuh lagi kalau itu dianggap sebagai intoleran. Jadi pemerintah harus memperjelas hal ini (istilah intoleran). Jangan sampai ada simpang siur," pungkas Maruf Amin.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya