Liputan6.com, Jakarta - Sampai tahun 1920-an, jalanan di Betawi masih sangat sepi. Jalan-jalan raya hanya dilewati kereta yang dihela kuda. Agar bisa dikendalikan dengan baik, mulut kuda dimasukkan besi melintang, yang kedua ujungnya dikaitkan ke tali kendali.
Itulah "zaman kuda gigit besi", istilah yang kini digunakan sebagai ungkapan masa yang sudah lampau. Pada masa itu, jarang sekali kendaraan saling salip, kebut-kebutan, apalagi kecelakaan lalu lintas, jarang sekali terlihat di Tanah Betawi--sebutan Jakarta pada masa itu.
Dikutip dari Intisari edisi Juni 2001, di antara kendaraan berkuda itu, yang paling banyak dijumpai adalah kereta beroda dua, yang disebut delman dan sado.
"Saat itu, delman masih bisa dijumpai di bagian Kota Jakarta, seperti di Pasar Palmerah, Jakarta Barat. Tapi jumlah sangat sedikit. Konon kata delman berasal dari Belanda, deeleman. Delen berarti 'membagi'. Tempat duduk dalam delman memang terbagi dua, kiri dan kanan."
Sementara, nama sado disebut-sebut berasal dari Prancis, dos a dos, yang artinya 'saling membelakangi'. Di mana tempat duduknya dua di depan, sementara dua menghadap ke belakang.
"Sebagian besar delman merupakan kendaraan sewaan dan sampai sekarang pun bentuknya tidak berubah. Ada juga delman pribadi, yang disebut 'delman preman'. Istilah 'preman' saat itu milik pribadi, sipil, atau swasta. Bukan penjahat."
Delman pribadi bentuknya lebih mewah ketimbang sewaan. Rodanya lebih tinggi, karoserinya lebih besar dan tempat duduknya lebih luas dan nyaman, karena bahannya terbuat dari beludru. Delman mewah seperti ini sudah lama tak terlihat, setelah muncul mobil pribadi di Betawi.
Tidak Mengejar Setoran
Delman dan sado sewaan ada juga yang miliki kusirnya sendiri. Namun saat itu umumnya milik pengusaha delman. Tidak seperti kendaraan umum lainnya di Ibu Kota sekarang ini, delman dan sado sewaan menggunakan sistem gaji dari si pemiliknya.
Meskipun menggunakan sistem gaji, sang kusir setiap hari harus menyetor. Jika setoran kurang, maka gaji sang kusir akan dipotong untuk menutupi kekurangan itu. Selain mendapat gaji, para kusir juga mendapat pemondokan gratis di belakang rumah si pemilik delman.
Pemilik delman atau sado memiliki rumput untuk pakan kuda, tetapi makanan tambahan seperti dedak dan gabah, sang kusirlah yang membeli. Jika kusir malas merawat kuda, dia bisa mengupah kepada perawat kuda. Namun ada juga pengusaha yang menyediakan dedak, gabah, rumput, serta menggaji perawat kuda sekaligus.
Trem Uap Kaleng
Setengah abad Tanah Betawi memiliki alat transportasi umum yang aneh. Alat angkutan ini adalah trem yang dijalankan dengan uap dalam kaleng. Jadi bukan trem uap biasa yang lokomotifnya dijalankan dengan mesin uap seperti layaknya kereta api.
Trem uap biasa loknya diisi air lalu dipanaskan dengan api batu bara atau api kayu. Sehingga air menjadi uap yang digunakan untuk menggerakkan trem. Tidak demikian dengan trem Betawi, loksnya terdiri ketel yang disebut remise.
Di pangkalannya, Kramat, Jakarta Pusat, remise diisi uap yang sudah jadi, yang memiliki tekanan tertentu. Dengan berbekal uap ini dalam perutnya, sang trem cukup kuat untuk menarik penumpang dari Kramat ke Kota, lanjut ke Meester Cornelis--sekarang Mester Jatinegara--dan kembali ke Kramat lagi untuk mengisi perut.
Tidak jelas siapa penemu sarana angkutan umum ini. Tidak jelas pula dia diimpor atau dirakit di negeri ini. Yang jelas trem dengan uap kalengan ini bukan penemuan yang sempurna.
"Pada musim hujan, jika hujan terus menerus mengguyur Betawi, uap kalengan itu akan cepat dingin. Lalu tenaganya loyo dan trem mendadak mogok di perjalanan."
Bahkan, di musim kemarau pun, kadang kekuatannya tidak memadai untuk menarik gerbong-gerbongnya. Seperti saat melintasi jembatan Kramat pada akhir abad ke-19, antara Kramat Bunder, dan Kwitang.
"Akibatnya, rakyat sudah biasa melihat lok itu ngos-ngosan mengerahkan seluruh tenaga uapnya tanpa hasil. Akhirnya didatangkan lok lain untuk menariknya."
Sebelum ada trem uap ini, sudah ada trem yang ditarik menggunakan kuda. Trem uap ini memulai sejarahnya pada 1881. Perusahaan Duemmler yang mengusahakan trem kuda, mendapat konsesi untuk mengelola trem uap.
Awalnya, perusahaan ini memanfaatkan jalan kuda untuk trem uap. Kemudian berangsur diganti dan rampung pada 1884. Untuk peremajaan itu, perusahaan baru yang dibentuk dengan nama Nederlandsch-Indische Tramweg Maatschappij (NITM).
Trem uap ini mempunyai tiga trayek. Pertama dari Jakarta Kota-Pasar Ikan atau Kleine Boom ke Harmoni. Kedua dari Harmoni melewati kantor Pos Pusat dan Istana Weltevreden atau Lapangan Banteng sampai Kramat. Ketiga, Kramat sampai Meester Cornelis atau Mester Jatinegara.
Saat trem uap kelengan mulai beroperasi, trem kuda sebenarnya masih "hidup". Entah dianggap terlalu lamban atau karena orang enggan mencium bau kotoran kuda, trem ini kurang peminatnya, sehingga perusahaan merugi terus. Pengusahanya rupanya jadi segan mengurusi.
Mulai 1 November 1886, seluruh pengelolaanya diserahkan kepada pribumi. Pengusahanya menyerah. Peristiwa ini jarang terjadi pada masa itu. Pada 6 Januari 1887, pengusaha trem kuda menghilang tanpa meninggalkan alamat. Berakhirlah riwayat trem kuda yang sudah ada sejak 1869.
Advertisement
Popularitas Trem Mulai Sirna
Kehadiran trem uap awalnya disambut hangat karena dianggap lebih modern. Ternyata popularitasnya tidak terlalu lama. Keluhan bermunculan. Katanya kendaraan umum itu terlalu ingar bingar, mengganggu ketenteraman dan ketertiban kota.
"Yang paling gawat adalah kereta besi ini sering menimbulkan kecelakaan. Ia pernah dijuluki 'pembunuh terbesar yang berkeliaran di Kota Betawi'."
Suatu saat pernah menelan korban selang empat jam sekali. Orang Betawi yang senang bergurau kemudian memakai istilah NITM untuk berolokan: Naek Ini Tentu Mati.
Sudah sejak 1887 hingga 1890 mantan Inspektur Keuangan LWJ Olivier menghujani para pejabat pemerintah dengan surat-surat antitrem. Contohnya surat yang diajukan kepada jaksa agung sebagai berikut:
"Tidak akan pernah ada perusahaan kedua di Hindia Belanda yang begitu banyaknya mencucurkan darah manusia dan masih menuntut lebih banyak lagi seperti trem uap Betawi, belum terhitung kerugian keuangan yang ditimbulkan pada pihak swasta seperti kuda, kereta, dan lain-lain."
Ketika trem uap menabrak seorang wanita di dekat Gang Pool atau sekarang Jalan Veteran II, Jaksa Agung R Van Goens menamakan NITM itu seekor Minotaurus modern.
Entah apa yang menyebabkan kecelakaan itu. Para penulis masa itu tidak menceritakan dengan jelas. Padahal, langkah pengamanan yang dikeluarkan secara khusus oleh pihak kepolisian untuk trem uap, kelihatannya sudah memadai.
Misalnya, trem uap harus memenuhi syarat kecepatannya tidak boleh melewati 15 km per jam. Apakah masinisnya senang kebut-kebutan seperti zaman sekarang ini, atau kendaraan lain terlalu lamban mengimbangi kecepatan trem uap itu?
Pemerintahan Belanda kemudian memutuskan agar trem uap mengalah mengurangi kecepatan. Namun perusahaan NITM menyuap untuk meniadakan aturan yang baru itu. Mereka berhasil, konon kecelakaan meningkat lagi.
Pada 1901, diperkenalkan trem listrik yang mengambil rute Kramat-Pengarengan-Menteng-Kampung Lima-Tanah Abang-Harmoni. Muncul pula oplet, taksi, dan kendaraan lain yang lebih cepat dan lebih nyaman. Namun trem uap yang ngos-ngosan dan dikutuk itu, tetap gigih merayapi jalanan Ibu Kota.
"Ajalnya baru tiba 50 tahun kemudian, tepatnya 30 September 1933, ketika sang trem uap mengembuskan uapnya yang terakhir."
Esoknya, 1 Oktober 1933, seluruh jaringan trem di Betawi sudah dilistrikkan. Buntutnya masih ada. Pimpinan perusahaan Bataviasche Vervoersmaatschappij (BVM)--moyangnya PPD--ingin menawarkan lok uapnya yang konon kemasyhurannya sampai ke Amerika.
BVM menawarkan ke Museum Gajah. Namun tawaran tersebut ditolak, lantaran tidak ada lokasi di museum yang berada di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat itu. Sayang memang, kala itu belum ada museum kereta seperti sekarang di Ambarawa.
"Mana ada tempat buat monster seperti itu di antara arca-arca dan porselin?" gurau si penulis.
Jika saja kala itu ada, mungkin "monster" tua bisa diselipkan di Museum Ambarawa. Lok yang menghuni Museum Ambarawa saat ini berumur 1891, lebih muda dari sang monster.
Transjakarta hingga LRT
Kini, setelah Jakarta berumur 489, sejumlah alat transportasi umum hampir lengkap di Ibu Kota. Mulai dari layanan ojek online, Mikrolet, Metromini, KRL, hingga bus Transjakarta.
Bahkan, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok tidak tanggung-tanggung bakal membangun light rail tansit (LRT). Dia malah berencana membangun LRT hingga tiga tingkat.
Ahok mengibaratkan lahan di Jakarta seperti membangun rumah. Pemilik rumah tidak punya pilihan, selain membangun hingga dua lantai jika tidak punya lahan lain.
"LRT penting, dong. Sekarang jalan dibuat dua lantai tiga lantai, jalan sama, penuh, juga mobil banyak. Kita mau ubah, bangun dua-tiga lantai khusus kereta api (LRT) itu idenya," ujar Ahok di Balai Kota Jakarta, Senin, 6 Juli 2015.
Pembangunan ruas jalan baru memang masih bisa dilakukan. Tapi, itu akan menimbulkan kemacetan baru. Mengingat, penjualan sepeda motor saja mencapai 2,4 juta unit per tahun.
Untuk menyiasati itu, Ahok membangun mass rapid transit (MRT) atau sistem jalan berbayar. Baik MRT maupun LRT, kini proyek pembangunnya sudah mulai berjalan. Semoga dengan semakin banyaknya moda transportasi massal, impian Jakarta bebas kemacetan segera terwujud. Minimal mengurangi angka kemacetan.